Langsung ke konten utama

Menangis

     Yang paling aku tunggu di bulan november adalah peristiwa 10 November 1945. Kan hari pahlawan juga sih, jadi bagi diriku yang pingin jadi pahlawan tentu saja harus banyak belajar dari peristiwa heroik tersebut. Tapi, kalau mau jadi pahlawan syaratnya harus mati dulu, ya males lah jadi pahlawan. Baik menjadi penjahat, lalu dengan begitu aku jadi penyebab seseorang jadi pahlawan. Begitu.

Nah, ada pembuka yang paling aku sukai, yaitu pidato Bung Tomo. Berikut ini:

‘Bismillahhirrohmanirrohim... Merdeka!!! Saudara-saudara rakyat jelata, di seluruh Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. 

Kita semuanya telah mengetahui, bahwa hari ini, tentara Inggris telah menyebarken, pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibken untuk dalam waktu yang mereka tentuken, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. Mereka telah minta, supaya kita dateng kepada mereka itu, dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta, supaya kita semua dateng pada mereka itu, dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah kepada mereka. 

Saudara-saudara, di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukken, bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing, dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukken satu pertahanan yang tidak bisa dijebol, telah menunjukken satu kekuatan, sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. 

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara, dengan mendatengken Presiden, dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk memberhentiken pertempuran. Tetapi pada masa itu, mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat, sekarang inilah keadaannya. 

Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya, ingin mendengarken jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarken jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. 

Dengarkenlah ini, tentara Inggris!!! Ini jawaban kita!!! ini jawaban rakyat Surabaya!!! Ini jawaban pemuda Indonesia!!! kepada kau sekalian!!! Hei tentara Inggris!!! 

Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan dateng kepadamu, kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahken kepadamu. Tuntutan itu, walaupun kita tahu, bahwa kau sekalian akan mengancam kita, untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada, tetapi inilah jawaban kita. 

Selama banteng-banteng Indonesia, masih mempunyai darah merah!!! Yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih!!! Maka selama itu, tidak aken kita mau menyerah kepada siapapun juga!!!. Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah!!! keadaan genting. Tetapi saya peringatken sekali lagi, jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukken bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin Merdeka. 

Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak Merdeka!!! Semboyan kita tetap, Merdeka atau Mati!. Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Merdeka!!!.


Ada satu untaian penuh makna yang aku dapat dari Emha Ainun Nadjib, berikut aku sajikan : 


Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat “iyyaka na’budu….”. Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan “wa iyyaka nasta’in….”
Banyak di antara jamaah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
“Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar”, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, “Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. Harus di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu”.
“Astaghfimllah, astaghfirullah”, geremang turut menangis mulut parasantri.
“Jadi, anak-anakku”, beliau melanjutkan, “apa akar dan pijakan kita dalam rnengucapkan kepada Allah iyyaka na’budu?”
“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?” bertanya seorang santri.
“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan”.
“Belum jelas benar bagiku, Abah”.
“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan”. “Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri terhenti ucapannya. Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na’budu”.


“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari ‘abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na’budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?”
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri.
“Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta’in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah”.
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, gemeremang para santri.
“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya!”

      Begitulah apa yang menjadi pikiran beliau, seseorang yang begitu mendambakan apa yang disebut kenikmatan hidup. Ketegaran dan keinginan untuk membantu meredakan kesedihan dan nasib malang orang lain, kadang saat aku udah sombong, seolah air mata udah hilang entah kemana. Aku ini cukup kental dengan yang namanya air mata, lama-kelamaan bisa nangis aku nanti, sawangsulna.

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar