Langsung ke konten utama

Cerita diakhir hayat


Tanah air ku tidak kulupakan 
Kan terkenang selama hidupku 
Biarpun saya pergi jauh 
Tidak kan hilang dari kalbu 

Tanah ku yang kucintai 
Engkau kuhargai 

Walaupun banyak negeri kujalani 
Yang masyhur permai dikata orang 
Tetapi kampung dan rumahku 
Di sanalah ku rasa senang 

Tanah ku tak kulupakan 
Engkau kubanggakan 

Tanah ku yang kucintai 
Engkau kuhargai


    Apa yang paling aku ingat dari Bung Karno dan Bung Hatta adalah masa ketika mereka bertemu di masa terakhir. Bukan masa kala mereka berjuang bersama, atau masa beliau berdua terlibat beda pandangan. Hal itu adalah lumrah bagi kita sebagai manusia, berjuang dan konflik adalah pertanda manusia masih hidup. Namun, masa dua hari sebelum Bung Karno wafat, adalah masa yang paling menggambarkan siapa manusia sebenarnya. Sejujurnya aku ini sangat iri dengan manusia-manusia yang memiliki kisah heroik dan terkesan penuh intrik. Tapi ya sudahlah, belum tentu mereka yang berkisah heroik tidak iri denganku, kan aku lumayan membuat banyak orang kagum. Ya sudah sampai situ saja, kebablasan bisa masuk jurang nanti. Dan berikut adalah kisah menakjubkan dari dua pejuang sejati kita:


Kisah lama yang nggak pernah berhenti dikenang, oleh karena mereka menunjukkan apa itu arti kenangan.

    Wajah Meutia Hatta tiba-tiba berubah menjadi sayu. Oleh karena ia terkenang kembali momen pertemuan dirinya dengan Sukarno untuk terakhir kali saat menemani sang ayah. Ada kesedihan dan kerinduan yang dia rasakan menohok ulu hatinya. Berat dan cukup berniat kuat, terhadap realita yang paling menggambarkan arti perpisahan.

“Sudah lama sekali, sejak Sukarno tak terekspos lagi kepada masyarakat, Hatta tidak pernah bertemu dengan kawannya itu,” kata perempuan berusia 72 tahun itu.

Bukan rahasia lagi jika hubungan dua bapak pendiri bangsa ini sempat meregang pasca Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, terutama dalam kurun masa 1950-an sampai 1960-an. Masalah utamanya adalah perbedaan pandangan mengenai masa depan revolusi Indonesia, di samping soal prioritas pembangunan dalam negeri. Khususnya dalam bidang sosial ekonomi.

Dalam sebuah buku, Mengenang Bung Hatta, yang memuat pengalaman-pengalaman pribadinya selama mendampingi Mohammad Hatta sebagai sekretaris, Iding Wangsa Widjaja memastikan bahwa keduanya tidak pernah saling mendendam. 

“Hal itu tidak sampai merusak hubungan pribadi beliau berdua. Ini saya ketahui persis, terutama yang menyangkut sikap Bung Hatta terhadap Bung Karno di balik pertentangan-pertentangan pendapat beliau,

“Salah satu bukti yang dapat saya utarakan, bahwa Bung Hatta tidak menaruh dendam dan tidak memusuhi Bung Karno, ialah peristiwa menjelang wafatnya Bung Karno,” lanjut Widjaja.

Pada Jumat pagi, 19 Juni 1970, Hatta dikirimi sepucuk surat oleh Masagung, salah satu kawan Sukarno yang bernama asli Tjio Wie Tay. Ia diberitahu bahwa Sukarno masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat karena kondisinya yang semakin gawat dan harus dirawat intensif.

Masagung menegaskan bahwa saat-saat seperti ini harus cepat dimanfaatkan oleh Hatta untuk menemui Sukarno. Sebagaimana diketahui ketika itu Sukarno menjadi tahanan rumah yang tidak boleh dihubungi oleh sembarang orang, tidak terkecuali oleh Hatta.
Setelah mendapat kabar itu, Hatta segera meminta Wangsa Widjaja untuk menghubungi pihak-pihak tertentu agar diberi izin menjenguk Sukarno. Tidak lama, sekretarisnya itu menghubungi Sekretaris Militer, Letjen Tjokropranolo dan menjelaskan keinginan Hatta tersebut. Tjokropranolo lantas melanjutkan maksud Hatta itu kepada Presiden Soeharto.

Beberapa saat kemudian, melalui sambungan telepon, Tjokropranolo mengabari Wangsa Widjaja jika Soeharto telah memberi izin. Mereka pun dijadwalkan akan menjenguk Sukarno pada pukul lima sore. Setelah semua persiapan selesai, rombongan yang terdiri dari Hatta, Wangsa Widjaja, Tjokropranolo, putri pertama Hatta, Meutia, dan putri kedua Hatta, Gemala segera bertolak ke rumah sakit.

“Kita yang ada di rumah saja berangkat. Adek saya yang kecil (Halida Hatta) sedang sakit jadi tidak bisa ikut. Ibu (Rachmi Hatta) juga tidak bisa ikut,” kata Meutia.

Setiba di sana, rombongan tersebut langsung menuju ruangan tempat Sukarno dirawat. Hanya Tjokropranolo saja yang menunggu di luar ruangan. Di dalam ruangan kecil itu, Hatta menemukan sosok yang ia kenal terbaring tak sadarkan diri. Terlihat jelas raut sedih di wajahnya.

Perawat di ruangan menjelaskan jika sudah beberapa hari Sukarno dalam kondisi demikian. Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Wangsa Widjaja mengajak Hatta pulang karena kawannya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan siuman.


Tanpa memberikan jawaban, Hatta pun perlahan melangkah ke arah pintu. Geraknya yang berat menunjukkan kekecewaannya. Sesekali ia menoleh ke belakang berharap kawannya sadar sebelum ia pergi dari ruangan itu.

Saat akan membuka pintu, Hatta masih mengarahkan pandangannya kepada Sukarno. Beruntung ia masih melihat ke arah Sukarno karena sesaat setelah itu Sukarno membuka matanya. Bergegas ia menghampiri kawannya itu. 

“Ah No (panggilan akrab Hatta kepada Sukarno) bagaimana keadaanmu?” tanya Hatta. Sukarno tidak menjawab. Kondisinya membuat ia sulit untuk berbicara. Namun menurut Meutia samar-samar terdengar Sukarno mengucapkan “hoe gaat het (apa kabarmu)?” sambil mencoba meraih tangan Hatta.

Baik Meutia, maupun Wangsa Widjaja dalam bukunya, mengatakan bahwa ada kata-kata lain yang diucapkan Sukarno. Tetapi keduanya tidak mengerti. Hanya Hatta yang paham dengan maksud Sukarno itu. Hatta kemudian menjawab: “Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh."

Meutia menggambarkan suasana di ruangan saat itu yang baginya sangat mengharukan. Hatta berdiri persis di samping tempat tidur Sukarno. Meutia dan Gemala berada sedikit di belakang Hatta, dekat kaki Sukarno. Sementara Wangsa Widjaja berdiri di sisi lain tempat tidur.

“Saya melihat ini sebagai pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tidak tampak, walaupun tidak berarti beliau berdua telah memutuskan hubungan persahabatan itu,” ungkap Wijdaja.

Sukarno kemudian berusaha menggapai-gapai sesuatu. Semua orang di sana tidak mengerti apa maksud Sukarno. Wangsa Widjaja akhirnya menyadari bahwa ia sedang mencari kaca matanya. Suster lalu memakaikan kaca mata tersebut untuk Sukarno.

Dalam posisi tertidur, terlihat tetesan air mata jatuh dari mata Sukarno. Hatta pun mencoba menghibur dengan memegang tangan dan memijat pelan kakinya. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Hanya pandangan mereka yang berbicara.

“Sebetulnya itu hati yang berbicara. Tidak ada lagi kata-kata, tidak tersedu-sedu. Mungkin keduanya saling memaafkan karena memang itu adalah tahap terakhir dari kehidupan Sukarno,” ucap Meutia. 

“Kami semua tidak bisa berkata apa-apa. Kami hanya bisa mendoakan. Namun saya bersyukur bisa berada di sana. Menyaksikan kedua proklamator berpisah untuk terakhir kalinya.”

Tidak diketahui dengan pasti berapa lama Hatta dan rombongannya menemani Sukarno. Setelah itu, Hatta pamit pulang, keluar dari ruangan perawatan tersebut. Mereka pun kemudian diantar pulang oleh Tjokorpranolo kembali ke kediamannya.
Hatta dan siapapun yang hari itu menjenguk Sukarno tidak mengetahui bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan sang proklamator. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Juni 1970, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Saat mendapat kabar duka itu, Hatta hanya bisa termenung. Nampak sekali dia merasa kehilangan.

Semoga beliau berdua mendapat tempat paling baik di sisi Allah SWT. Amin ya Allah Tuhanku. Amin ...

Temukan sahabat yang akan membuatmu makin bersemangat dan teruslah saling menyemangati sampai akhir hayat nanti. Hai, bung... ini penerusmu!

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar