Langsung ke konten utama

Kata di Hutan Belantara

Kata, ungkapan, dan tafsiran, adalah tiga hal yang cukup berpengaruh pada manusia.  Setiap dari kita pasti telah terpapar oleh tiga hal tersebut, karena manusia membutuhkan energi yang aku kira berasal dari salah satu dari ketiganya, atau bahkan kesemuanya.

Ataukah engkau menyangka aku melemparkanmu ke seberang cakrawala, di mana setiap kata tak engkau pahami maknanya, apalagi susunan dan maksudku di belakangnya? Atau sebagian dari engkau berpikir bahwa aku menerbangkan pikiran, hati dan jiwamu ke angkasa yang tanpa kiri kanan atas bawah? Ke langit yang semakin engkau tembus semakin sirna rumusannya?
Sudah pasti akan aku turuti reaksi dan kemauan sesaatmu. Aku akan ada bersamamu di ruang yang terbatas, di atas tanah yang bisa dipijak secara sederhana, di dalam utusan yang lurus-lurus dan datar-datar saja.

Dengan ungkapan tadi saja, udah bisa disimpulkan bahwa ada sisi ajaib dari sebuah ungkapan.


Meskipun demikian sebelumnya aku titip satu pertanyaan: yang kau sebut hutan belantara, seberang cakrawala, angkasa tanpa kiri kanan dan langit yang tak ada rumusannya itu — bukankah memang di situlah hidupmu berada? Coba engkau diam sesaat, pelan-pelan tengok dan rasakan kiri kananmu. Bukankah engkau memang sedang berada di kepungan urusan-urusan yang setelah beberapa langkah kau tempuh: engkau terbuntu oleh hutan belantara yang remang dan gelap? Engkau terkatung-katung secara tidak masuk akal seakan-akan berada di seberang cakrawala?

Nah, gimana... bahkan emosiku saja ikut ke mana kiranya kalimat mengarahkan. Seperti sebuah petunjuk yang pastilah diungkapkan secara deskriptif, maka ada juga petunjuk yang nggak ada penjelasan. Bagaimana cara kita bisa sampai pada tujuan utama jika tanpa ada penjelasan? Sedang tidak semua ungkapan dan tafsiran memiliki maksud yang bisa dipahami mayoritas kalangan.
Engkau mendengar ada yang disebut masyarakat, negara, hukum, demokrasi, pembangunan, pasar uang, pilkada, pejabat, ulama, ustadz, preman, pengaturan harga, jembatan jebol dan kereta cepat, dan seribu fakta lain — bukankah itu semua adalah angkasa ketidakjelasan, langit ketidakmenentuan, seberang cakrawala yang jauh dari masuk akal, serta senyata-nyatanya hutan belantara?
Baiklah kita belok ke jalanan kecil sejenak, nanti kita akan kembali ke jalanan utama yang terjal dan bergerunjal-gerunjal itu.
Sebenarnya yang utama bukanlah jalan yang mana dan yang bagaimana. Yang kita upayakan adalah di jalanan apapun kita tetap memperjuangkan kedekatan hati di antara kita, sekaligus kedekatan kita bersama kepada pangkal jalan dan ujung jalan. Engkau tahu, pangkal dan ujung jalan itu Satu.
Maka langkah pertama memasuki jalanan kecil itu adalah, menurutku, adalah dengan mengubah kata “aku” dengan “saya”, kata “engkau” dengan “anda”. Pilihan kata, sebutan atau panggilan ini sangat menentukan rasa dekat atau jauh di antara kita. Bahkan mengendalikan dimensi makna dan nuansa setiap yang tersambungkan di antara kita, baik kata maupun tali silaturahmi yang lain.
Apakah engkau merasa lebih dekat padaku kalau kusebut diriku “aku” dan kusebut dirimu “engkau”?  Pada yang kurasakan, kata “aku” itu kerelaanku memasukkanmu ke dalam diriku yang lebih dalam. Ibarat tamu, kujamu engkau tidak di beranda, melainkan di ruang dalam, bahkan sesekali kutuntun engkau memasuki kamar pribadiku.
Kupanggil engkau dengan “engkau” karena yang kupanggil bukan sekedar seseorang, bukan sekedar orang di antara orang-orang, bukan sekedar warga dari suatu negara dan bagian dari masyarakat atau institusi atau golongan. “Engkau” yang kupanggil adalah engkau yang di dalam, yang lebih pribadi, yang mungkin agak kau bungkus dengan selubung rahasia.
Akan tetapi mungkin sekali bukan itu yang berlangsung di antara kita. Dengan “engkau” dan “aku” bisa jadi engkau malah menjadi merasa asing. Dan akibatnya mungkin membuatmu terlempar akan menjauh dariku.
Komunikasi bahasa dan perhubungan kata dalam pergaulan sosial yang kita alami selama ini mungkin membuat aku-engkau itu menimbulkan semacam eksklusivitas. Kita jadi merasa kurang santai, kurang akrab, kurang dekat, kurang sehari-hari, kurang ‘egaliter’ kata anak-anak sekarang. Kenapa gerangan ini? Bagaimana mungkin tindakan komunikasi yang memakai kata yang paling privat justru menghasilkan kejauhan sosial? Apa yang menyebabkan seorang manusia yang memasukkan saudaranya ke ruang yang terdalam dari jiwanya, menghasilkan hal yang sebaliknya?
Ternyata kita punya masalah besar dan serius dengan kata. Ternyata perhubungan sosial dan interaksi kebudayaan kita justru terancam jadi merapuh atau minimal menjadi tidak pernah matang nilainya, justru oleh alat utamanya. Kata adalah salah satu instrumen andalan untuk menyelenggarakan bebrayan dan membangun silaturahmi. Dan terbukti kata itu pulalah yang potensinya sangat tinggi untuk merusaknya.
Hari-hari ini engkau bergaul dengan ummat manusia di seluruh dunia melalui terutama kata di media massa, media sosial, hutan rimba dunia maya, persambungan lewat aplikasi mengobrol tertulis dengan kerja jari-jari. Muwajjahah atau berjumpa wajah dengan wajah berkurang mungkin sampai hampir 90%. Padahal dalam interaksi muwajahah langsung pun kita masih punya persoalan dengan kata, kalimat, ungkapan, istilah dan idiom.
Jangan bicarakan dulu akibat baik atau buruk hutan rimba maya itu dengan persoalan tanggungjawab, kejujuran, kebenaran, ketulusan, membengkaknya hak dan menyusutnya kewajiban. Jangan dulu. Itu tema yang seribu kali lebih besar dibanding urusan “satu kata” yang sedang kita selami sekarang ini.


Silahkan engkau menggambar, mempetakan dan mensimulasikan jika kupanggil engkau dengan “anda” atau “kamu” atau “ente” atau “antum” atau “kowe” atau “elu” atau “koen” atau “you” bahkan aku melarikan diri menghindari resiko sehingga memanggilmu dengan namamu, atau “jij” atau “siro” atau “sira” atau “ndiko” dan apapun sangat banyak kemungkinannya. Alias sangat tinggi ketidakpastian dimensi silaturahminya. Sangat luas ketidakmenentuan nuansanya.
Apa yang kau pilih. Kepadamu aku menyebut diriku “aku” ataukah “saya” ataukah “kami” ataukah “ana” ataukah “ane” ataukah “reang” ataukah “alfaqir” ataukah “kawulo” ataukah “hamba Allah” atau kata apapun barangkali engkau punya gagasan. Semoga engkau menemukan fakta bahwa sesungguhnya engkau dan aku, kita dan masyarakat, sesungguhnya sedang berada dalam situasi perang terhadap kata. Bahkan negara dan koalisi negara-negara di muka bumi ini menindasmu, merampokmu, menipumu, memperdayakanmu, memiskinkanmu, dengan alat paling ampuh, yaitu kata.

Satu ungkapan menarik dari Emha Ainun Nadjib tadi telah merasuki jari jemari dan lidah bibirku. Semoga makin tertunduk dan tertuntun diriku dalam rangka membabat hutan belantara dengan senjata utama yaitu kata. Sialnya, daya tahanku sangat lemah dalam hal kata. Oleh karena aku lebih suka tangan kaki dan mata.

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar