Langsung ke konten utama

Rasa dan Nama


Seorang tokoh senirupa mengemukakan kepadaku bahwa pesawat televisi adalah benda magis. Sebutan kotak ajaib baginya bukan main-main, sebab bagaimana mungkin dari kaca itu muncul gambar? Aneh kan... aneh emang.


Aku gemar pada getaran dan selalu terangsang oleh segala sesuatu yang mungkin bisa membuatku tergetar. Hal televisi itu memang benar merupakan suatu pengalaman magis bagi sang senirupawan (dunia subjektif), tapi (dunia obyektif) ia bisa dibongkar oleh penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ yang membuktikan kepadanya bahwa televisi itu bukan peristiwa magis. Karena magis itu diluar kepala kotak.
Demikian juga ketika seorang tokoh sastrawan merasa takjub menyaksikan sepeda motor dislah lantas berbunyi menderu-deru sambil mengeluarkan asap. Ia mengemukakan bahwa itu mistis. Penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ akan menggugurkannya.
Seorang piawi lain memberitahukan bahwa contoh peristiwa magis misalnya ialah tenung dan santet. Bagaimana mungkin engkau memasukkan keranjang ke dalam perut saingan dagangmu, menyusupkan sekeping emas ke pipi agar orang jatuh cinta, atau membentengi gawang dengan tembok magis agar tak terlalu banyak kemasukan gol.
Hal-hal semacam itu memang bisa menggetarkan, sampai pada seseorang menggengam pengertian bahwa itu bukan magis karena bisa diurai juga oleh ‘ilmu pengetahuan biasa’, meskipun belum pernah diartikulir oleh wilayah keilmuan kita. Seperti juga kemenyan dipilih untuk mengundang ‘rekan-rekan dari dunia lain’ bahasa kasarnya setan. Seperti juga ada ramuan daun dan akar-akaran tertentu yang letak kodratnya bersentuhan dengan dimensi jin. Sifat kodrati dedaunan dan anggota alam lain ini yang membikin seorang Shaman Indian mengalami proses dan penggunaan alat yang berbeda dibanding seorang dukun dayak ketika melangsungkan hubungan diplomatik dengan ‘masyarakat luar dimensi manusia’. Baru masuk kategori magis.
Aku tidak tahu itu semua. Aku tidak mampu menjelaskan rangka teknologis pesawat televisi, seperti aku juga nggak becus menerangkan kata orang bahwasannya hantu-hantu menyukai pohon-pohon tertentu untuk domilisinya, atau kenapa kata orang binatang lebih peka terhadap adanya hantu dibanding manusia? Bukannya manusia juga termasuk jenis dari hewan? Atau hewan yang adalah termasuk manusia?


Aku tidak tahu itu semua, dan aku tidak tergetar oleh itu semua. Sampai akhirnya seorang yang lain menanyakan kenapa gula itu manis dan kenapa garam itu asin?
Ini menggetarkan bukan karena pertanyaan ini tergolong sebagai pertanyaan filosofis, melainkan karena ia merangsangku untuk membongkar kembali sikap, kesadaran dan imanku ketika sarapan, mengunyah tahu tempe, serta ketika memeras keringat bagaimana memperoleh dua tiga potong tahu tempe di tengah kehidupan yang sudah begini megah dan pintar.
Dalam perjalanan pembongkaran itu aku bertemu tidak saja dengan ide penciptaan makanan tahu, dengan para tukang bikin tahu yang menginjak-injak bantalan kristal kedelai, tentang petani garam yang tersingkir di Madura, tentang tebu tanam paksa jauh sesudah jajahan Belanda — tapi juga dengan prototanisme dan kapitalisme, dengan marxisme kuno maupun marxisme mode baru, yang semuanya memang tidak pernah sempat bertanya kenapa gula itu manis dan kenapa garam itu asin. Terlupakan sudah.
Pertemuan dengan hal-hal besar itu juga tidak menggetarkan, sebab ‘nafsu’ku kemudian – yang menggetarkan – hanyalah bagaimana memperbanyak orang gila yang bersedia menanyakan kepada dirinya sendiri kenapa gula manis kenapa garam asin.
Kata dosen filsafat, itu immanent. Kata Ustadz itu termasuk qadla dan qadar. Kalau engkau bertanya kepada pelawak ludruk ia akan menjawab – “Lha kalau yang manis hanya keringat di ketiakmu, siapa mau minum teh manis?” Persis seperti ketika mereka menjawab kenapa Tuhan meletakkan hidung di bawah mata dan di atas mulut – “Sebab kalau ditaruh di bawah pinggang sebelah belakang, ‘kan…..” Rumit begini akhirnya.
Adapun, kata sahibul hikayat, tak hanya gula yang manis, tapi gula pasti manis. Tak hanya garam yang asin, tapi garam pasti asin. Gimana kalau kita campur sama rata antara garam dan gula?
Dan sastrawan kita itu menarik napas dalam-dalam – “Itu mistis” katanya, “Gula itu kok manis, ya mbok sekali-sekali gula itu asin, atau garam yang manis…”
Bisa saja, Mas. Kita bikin konvensi baru manis kita sebut asin, asin kita sebut manis. Atau gula kita sebut garam, garam kita sebut gula. Itu kan cuma soal nomenklatuur. Kata seni bisa kita ganti daki, kata intelek kita ganti panu.
Tapi yang ini tetap terasa begini, dan yang itu tetap terasa begitu. Adakah ini awal dari sejarah alam semesta? Atau kah ada sesuatu yang lebih konkret, lebih wenang, di belakangnya? Sebelumnya?
Ilmu pengetahuan mandeg di situ. Karena ilmu pengetahuan hanya menyelidiki. Menyelidiki, dengan jarak. Menyelidiki garam, menyelidiki asin. Ilmu pengetahuan tidak mengalami. Ilmu pengetahuan tidak menyatukan diri dengan yang di belakang garam dan di belakang asin.
Asin tidak bisa di-report, diinformasikan, diartikulir, diterjemahkan. Engkau tidak bisa memberitahukan kepada seseorang yang lidahnya hampa dari radar rasa bagaimana rasa asin. Ia harus mengalaminya sendiri.
Demikian pun Allah. Demikian pun Allah
Seorang Pendeta menodongku dengan mengemukakan – “Kita terus terang saja, bahwa dalam agama apa pun wahyu itu tidak ada. Qur’an itu karangan Muhammad, meskipun aku memaklumimu bahwa untuk konteks penggembalaan umat engkau mengatakan yang berbeda”.
Tentu saja aku tidak bersedia menyeret diri untuk memperdebatkan dengannya pembuktian-pembuktian sejarah wahyu, dengan kecanggihan ilmiah yang paling mutakhir pun Aku tidak bersedia membuang waktu memperdebatkan rasa asin dengan seseorang yang tidak mengalami asin di lidahnya.

Demikan sedikit uraian tentang entah apa namanya ini. Ulasan yang menarik dan menggelitik, namun memiliki titipan unik. Salam dari penikmat rasa manis, rasa itu dinamakan sesuai ekspresi si perasa setelah mencoba. Sulit aku jelasinnya, semoga kalian paham sendiri tentang apa aku bicara di sini.

Sawangsulna...



Ada banyak pidato dari manusia sejak dahulu kala, tetapi rasa terkuat dari sebuah pidato aku kira berasal dari pidato Bung Tomo 10 November 1945 berikut ini. Memiliki cita rasa asin aku kira isi pidato beliau ini :

‘Bismillahhirrohmanirrohim... Merdeka!!! 

Saudara-saudara rakyat jelata, di seluruh Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui, bahwa hari ini, tentara Inggris telah menyebarken, pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibken untuk dalam waktu yang mereka tentuken, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. 

Mereka telah minta, supaya kita dateng kepada mereka itu, dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta, supaya kita semua dateng pada mereka itu, dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah kepada mereka. 

Saudara-saudara, di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukken, bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing, dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukken satu pertahanan yang tidak bisa dijebol, telah menunjukken satu kekuatan, sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara, dengan mendatengken Presiden, dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk memberhentiken pertempuran. Tetapi pada masa itu, mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat, sekarang inilah keadaannya. 

Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya, ingin mendengarken jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarken jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkenlah ini, tentara Inggris!!! Ini jawaban kita!!! ini jawaban rakyat Surabaya!!! Ini jawaban pemuda Indonesia!!! kepada kau sekalian!!!

Hei tentara Inggris!!! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan dateng kepadamu, kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahken kepadamu. Tuntutan itu, walaupun kita tahu, bahwa kau sekalian akan mengancam kita, untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada, tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng-banteng Indonesia, masih mempunyai darah merah!!! Yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih!!! Maka selama itu, tidak aken kita mau menyerah kepada siapapun juga!!!. 

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah!!! keadaan genting. Tetapi saya peringatken sekali lagi, jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukken bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin Merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak Merdeka!!! Semboyan kita tetap, Merdeka atau Mati!. 

Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Merdeka!!!.

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar