Langsung ke konten utama

Biar seperti Bunda Teresa

Kami para introvert memiliki pandangan lain akan sesuatu. Kami keras kepala dengan itu, karena kami tahu bahwa itulah yang membuat kami bahagia.

     Bunda Teresa lahir tanggal 26 Agustus 1910, saat itu Bung Karno udah berumur 9 tahun. Biarlah Bung Karno dengan nasionalisnya, aku mau mempelajari Bunda Teresa dengan empatinya. Saat ini empati sangat penting, bisa jadi Joker semua jika empati terkubur dalam dilema. Pada tanggal 07 Oktober 1950, beliau mendirikan Missionaries of Charity, di Kalkuta, India. Saat itu beliau berumur 40 tahun, sudah tua berarti, tapi sepertinya 40 tahun itu masih muda. Missionaries of Charity bergerak untuk membantu mereka yang sakit, lapar, miskin, yatim dan semua yang harus dibantu. Kala bulan April 1996, beliau udah tua sekali, nggak sengaja terjatuh, patahlah tulang selangka beliau, apa beliau kaget dan merasakan suatu getaran atas kelahiranku saat itu ya... mungkin iya, lagipun empati beliau sangat tinggi, nggak salah kalau ada rasa tertentu dengan lahirnya diriku. Aku nggak kasih gambar untuk beliau, coba kalau ada gambar beliau waktu gadis jelita, bisa aku pertimbangkan. 

     'Aku lihat orang sekarat, aku menjemputnya. Aku menemukan seseorang yang lapar, aku memberinya makanan. Dia bisa mencintai dan dicintai. Aku tidak melihat warnanya, aku tidak melihat agamanya. Aku tidak melihat apa-apa. Setiap orang apakah dia Hindu, Muslim atau Budha, ia adalah saudaraku, adik saya.'

     Begitulah cara pandang Bunda Teresa, tentu beda denganku yang butuh penilaian dahulu, tapi itu dulu... sekarang aku udah hampir berspektif layaknya Bunda Teresa. Cukup berat memikirkan empati bagi seorang pria. Kepekaan kami tidak sebaik wanita, cuma bermodal rasionalitas yang terkesan nggak berkelas. Kala melihat orang sekarat, aku malah nggak kuat... lebih baik segera sudahi saja. Di saat ada orang yang kelaparan butuh makan minum, aku malah penasaran... apa bener nggak ada sisa makanan? Jangan-jangan cuma mau disuapi saja. Bunda Teresa tidak melihat warna kulit atau agama, semua beliau anggap saudara, sebagai adik. Lah aku, adik-adikku aku manfaatkan, mereka yang beda denganku, aku dua kan. Haruskah aku bersikap layaknya Bunda Teresa? Nanti aku pikir kembali, Bun....

      'Lakukan hal-hal biasa dengan cinta yang luar biasa.' Begitu prinsip teguh Bunda Teresa. Nah kalo ini sih aku setuju, Bunda.... cuma untuk menumbuhkan cinta pada hal-hal yang biasa itu lumayan menguras mental. Oleh karena obsesi dan ekspektasi tinggi, alhasil cinta kekurangan nutrisi. Emang sih, semua hal harus dari bawah, nah... pilih melakukan hal biasa saja sampai kita cinta, atau cari sesuatu yang kita cinta, lalu laksanakan hal tersebut. 'Cinta dimulai dari rumah, dan bukan berapa banyak yang kita lakukan, tapi berapa banyak cinta yang kita masukkan ke dalam tindakan yang kita lakukan.' Kalau nasehat beliau begitu. Artinya, si cinta adalah poin penentunya. Isu cinta saat ini sangat penting, banyak yang memilih beradaptasi saja, katanya; 'nanti lama-lama juga cinta!' Tuh... alasan yang lumayan hebat, apa mereka nggak punya kecintaan terhadap sesuatu? Atau emang udah menyerah karena selalu menemui jalan buntu? Kasian, kalo udah nggak punya kecintaan, mental pikiran pastilah nggak senang. Aku mah cinta pada semua hal, kecuali kebohongan. 

     'Marilah kita selalu bertemu satu sama lain dengan senyum, senyum adalah awal dari cinta.' kata Bunda Teresa lagi. Apakah ini masih berlaku untuk saat ini? Lagian, Bung Harto selalu tersenyum kala bertemu sapa, diajak bicara pun lembut ramah tutur kata, sikap wibawa dan bersahaja, alhasil semua cinta padanya. Harusnya aku juga begitu. Lah malah kala bertemu, aku bermuka datar lugu, tutur kata sudah terbakar melayu, sikap pikiran membuat kumpulan ekosistem tak lagi bersatu padu, kala ada yang ditembak pemburu, aku jadi tumbal. Cuma, aku kira aku nggak nakal.


The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar