Langsung ke konten utama

Kalah untuk Menang


Tanah air ku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu

Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku rasa senang

Tanah ku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

     Ada suatu petikan menarik dari Emha Ainun Nadjib pagi ini. Beliau ini sangat menyukai literasi dan terkesan menguasai dunia ucapan. Walau begitu, nggak berarti beliau ini jenis pribadi yang sok tau, bila dibaca banyak karyanya, beliau ini sangat menarik dalam menjelaskan sesuatu. Dibalik penjelasannya tersebut, tersimpan bekas perjuangan beliau. Itulah mengapa aku sangat mempertimbangkan seluruh pikiran dan emosi beliau. Realita dicetak dalam pikiran, lalu tertulis pemikiran yang sederhana tapi mampu menggeser dasar realita. Begitulah pokoknya kalau masalah beliau ini. Ada satu untaian penuh jebakan untuk aku nikmati pagi ini. Fokuslah pada diri sendiri, oleh karena peran kita ada pada diri kita sendiri. Nyatanya hidup bersosial bukan jaminan manusia menemukan panggung peran dirinya. Nah bagaimana pembukaan dariku pagi ini, sangat cerah kan? Tapi akan lebih cerah yang berikut ini:


     Tak ada orang yang menang, melainkan hanya orang kalah yang mendatangi Mas Dukun di rumah penuh pertimbangan. Orang kalah: Orang yang dikalahkan!
Oleh siapa?
Oleh orang lain?

Oleh kehidupan, yang pisaunya menikam amat menyakitkan. Oleh kekuatan kekuasaan, yang menghampirinya dari lingkungan sekitarnya: dari luar dirinya. Oleh bermacam-macam kekuasaan: kegagalan menggapai cita-cita, kegelapan masa lalu, kecemasan akan masa depan, keluarga yang nihil kasih sayang, suami yang kejam, istri yang menyeleweng, orang tua yang memperalat, anak yang mempermalukan, raksasa bisu yang menggerogoti ilmu sosial ekonomi, dan ataupun sistem-sistem dalam putaran sejarah yang membuatnya tidak saja gagal memperoleh kelayakan hidup, tapi bahkan menenggelamkannya ke garis minus kehidupan.

     Sebuah garis minus kelayakan kehidupan, bisa saja berupa kefakiran ilmu ekonomi, hilangnya pilihan pertimbangan untuk melangkah, atau ketertekanan psikologis yang membuatnya tak lagi mampu menggenggam dirinya sendiri dalam kekuasaannya.

Orang-orang yang kalah, terkatung tak berdaya upaya, tidak saja dalam ketiadaan harapan, tapi bahkan dalam kepungan gelap ancaman demi ancaman. Sangat menyiksa menggila dalam psikis dan pikiran mereka. Terus tak berhenti meronta dan mencoba meyakinkan diri untuk berani lebih menguasai diri.

Mas Dukun sering bertanya: Kenapa engkau lari kepadaku? Apakah engkau berpikir aku memiliki sesuatu untuk sanggup membebaskanmu dari kurungan itu?

Sebagian orang kalah menjawab: Kami tidak mencari pahlawan, Mas Dukun! Melainkan sekedar haus terhadap sahabat. Kami tidak menuntut agar dipindah dari kekalahan ke kemenangan, tetapi setidaknya kami mempunyai sahabat di dalam kekalahan.

Mas Dukun lama-lama menjadi tahu: Ada banyak "keranjang sampah" bagi "manusia sampah" yang telah dikalahkan, tetapi keranjang itu belumlah cukup.

      Ada banyak ahli kejiwaan bagi mereka yang memerlukannya. Ada juga manusia-manusia shaleh dan bijak. Ada organisasi bantuan hukum kemanusiaan. Tetapi nyatanya, mereka itu sesungguhnya bukanlah pihak yang paling utama mengemban kewajiban untuk menampung sekian banyak "manusia sampah".

Di file kategori mana engkau menyimpan kenyataan di mana ribuan penduduk yang beragama Islam, yang tanah duduknya dibeli secara paksa dengan harga yang tak memadai. Ditolong serta ditemani tidak oleh seorang alim  atau lembaga Islam manapun, melainkan oleh seorang Romo? Bahkan Romo ini pulalah yang mengantar mereka keliling mencari ulama bagi acara keislaman mereka?

     Jumlah orang-orang kalah semakin membengkak saja dari hari ke hari. Dan jumlah itu semakin tak terkirakan lagi tatkala kita mengetahui bahwa orang-orang yang suka mengalahkan pun, bahwa orang-orang yang memperoleh kemenangan atas orang lain pun, sesungguhnya adalah juga termasuk orang-orang kalah.

Mas Dukun sering berkata kepada sahabat-sahabatnya itu: Tuhan tidak pernah memintamu untuk menang melawan orang lain. Yang diminta oleh-Nya adalah kemenangan melawan diri sendiri.

Mas Dukun yang tak populer, berusaha melawan kenyataan filosofi populer yang kini berlaku di mana-mana.

      Dunia terasa begitu jelas, telah menyiapkan dan membuka lapangan kompetisi agar seseorang mengalahkan yang lainnya. Dengan kata lain: agar seseorang menjadi pemenang, sementara lainnya menjadi orang kalah.  Seberapa seringkah kita mendengar teriakan: Kalahkan mereka!

Betapa tidak membahagiakan dunia semacam itu! Betapa setiap keindahan dalam kemenangan semacam itu sesungguhnya adalah palsu!

Kemenangan dan keindahankah yang didapatkan oleh seorang kades yang berhasil tidak memperhatikan kesejahteraan penduduknya, bahkan menguras kekayaan penduduknya demi kepuasan perutnya sendiri?


Mas Dukun berkata: Halal untuk kalah melawan raksasa, tapi haram menyerah kepada nafsu untuk tak mempertahankan kebenaran.

    Sekian dan terima kasih. Aku ambil dari buku Surat kepada Kanjeng Nabi, Emha Ainun Nadjib, Mizan, 1996. Semoga lekas memberi ketenangan dan pemahaman filosofi kepada kita semua. Sebuah kebijaksanaan yang tak populer, tapi semua tidak ada yang menolak akan kebenarannya. Ketimbang filosofi populer yang cuma sepertinya.

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar