Tanah air ku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku rasa senang
Tanah ku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Ada sebuah cerita penuh pertimbangan, kaya penafsiran, dan tentu multi anggukan. Dahulu, aku sering mengalami kejadian macam cerita berikut ini;
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku rasa senang
Tanah ku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Ada sebuah cerita penuh pertimbangan, kaya penafsiran, dan tentu multi anggukan. Dahulu, aku sering mengalami kejadian macam cerita berikut ini;
“Lik, dewean po?”
“Yess, seperti yang sudah-sudah.”
Sebaris gigi putih menyiratkan kerinduan, meski sering kami bertemu, bergurau. Berebut menyapa adalah biasa.
Sejenak kurapikan napas. Masih saja tak teratur. Entah oleh sebab kegembiraan bersua saudara, entah kehangatan yang menyelinap.
Genggam erat sepotong kertas bertuliskan angka. Hela napas penanda kegugupan sowanku. Bismillah, semoga Engkau memberiku kekuatan. Pada sejumlah pertanyaan tentang Sang Begawan Umbu Landu Paranggi.
Seperti biasa, aku jauh dari papan penyangga. Selayang pandang kutemukan saudara lama. “Lho, memang ada saudara baru?” “Ada,” kata mata dan kulitku.
Beberapa orang memilih tempat duduk. Beberapa yang lain menulis pada sesuatu dari atas meja.
“Lik, sudah lama?”
“Lagi wae, karo sopo?”
Begitulah persaudaraan kami. Mungkin juga yang lainnya, pasti. Toh tempat ini huma, bukan gurun pasir tak berangin. Ia dirindu jiwa-jiwa dan rasa.
Diamku kumulai, kutajamkan telinga sebisanya. Hingga saat itu tiba. Kepingan-kepingan kawruh. Mengisi kebodohanku tentang sastra.
“Hussh, jangan jumawa.” “Dengar, dengar, dengarkan saja.” “Kamu ini siapa kok berani-beraninya membusung dada.” “Diam, dengarkan!,” kata gelas plastik air kemasan.
Sebatang rokok kuhisap pelan penuh tanya. Siapa itu, siapa dia, siapa lagi beliau? “Siapa, siapa, siapa?” Sudah, diam! Dengar, dengar, dengarkan saja.
Tuh, kayaknya paham nggak? Kayaknya emang harus segera dipahami. Sebuah multi talenta dari mereka yang ingin ilmu nya makin berguna, ya tentu saja banyak diam dan dengarkan. Di sekolah, seringlah kita disuruh untuk bertanya dan menyanggah setiap logika, cuma di sekolah yang tak terkelola secara etika logika. Mana yang utama? Mendengar atau bertanya?
The Introvert
Komentar