Langsung ke konten utama

Diam dan Bernafas

Tanah air ku tidak kulupakan 
Kan terkenang selama hidupku 
Biarpun saya pergi jauh 
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai 
Engkau kuhargai 

Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang 
Tetapi kampung dan rumahku 
Di sanalah ku rasa senang 

Tanah ku tak kulupakan 
Engkau kubanggakan 

Tanah ku yang kucintai 
Engkau kuhargai

     Ada sebuah cerita penuh pertimbangan, kaya penafsiran, dan tentu multi anggukan. Dahulu, aku sering mengalami kejadian macam cerita berikut ini; 

“Lik, dewean po?”
“Yess, seperti yang sudah-sudah.”
Sebaris gigi putih menyiratkan kerinduan, meski sering kami bertemu, bergurau. Berebut menyapa adalah biasa.
Sejenak kurapikan napas. Masih saja tak teratur. Entah oleh sebab kegembiraan bersua saudara, entah kehangatan yang menyelinap.
Genggam erat sepotong kertas bertuliskan angka. Hela napas penanda kegugupan sowanku. Bismillah, semoga Engkau memberiku kekuatan. Pada sejumlah pertanyaan tentang Sang Begawan Umbu Landu Paranggi.


Seperti biasa, aku jauh dari papan penyangga. Selayang pandang kutemukan saudara lama. “Lho, memang ada saudara baru?” “Ada,” kata mata dan kulitku.
Beberapa orang memilih tempat duduk. Beberapa yang lain menulis pada sesuatu dari atas meja.
“Lik, sudah lama?”
Lagi wae, karo sopo?”
Begitulah persaudaraan kami. Mungkin juga yang lainnya, pasti. Toh tempat ini huma, bukan gurun pasir tak berangin. Ia dirindu jiwa-jiwa dan rasa.
Diamku kumulai, kutajamkan telinga sebisanya. Hingga saat itu tiba. Kepingan-kepingan kawruh. Mengisi kebodohanku tentang sastra.
“Hussh, jangan jumawa.” “Dengar, dengar, dengarkan saja.” “Kamu ini siapa kok berani-beraninya membusung dada.” “Diam, dengarkan!,” kata gelas plastik air kemasan.
Sebatang rokok kuhisap pelan penuh tanya. Siapa itu, siapa dia, siapa lagi beliau? “Siapa, siapa, siapa?” Sudah, diam! Dengar, dengar, dengarkan saja.

     Tuh, kayaknya paham nggak? Kayaknya emang harus segera dipahami. Sebuah multi talenta dari mereka yang ingin ilmu nya makin berguna, ya tentu saja banyak diam dan dengarkan. Di sekolah, seringlah kita disuruh untuk bertanya dan menyanggah setiap logika, cuma di sekolah yang tak terkelola secara etika logika. Mana yang utama? Mendengar atau bertanya?

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar