Berbicara tentang kepemimpinan, ada idiom-idiom budaya Jawa karya para Wali yang bisa dipegang. Tugas utama pemimpin adalah menata kestabilan, tepatnya merawat kestabilan. Menstabilkan apa yang udah digariskan. Padahal mau bagaimana pun kondisinya, gak mungkin kiranya segala hal bisa tetap stabil. Jadi, hal paling tepat adalah mengangkat diri kita sendiri menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus bisa diatur, bukan malah suka mengatur. Hidup ini adalah murni pembelajaran aku kira, gak ada apapun itu yang namanya keberhasilan. Kadang aku heran, sebenarnya aku ini mau diapakan. Dan mengapa pula aku gak pernah paham, hilang fokus ditelan ketidaktahuan.
Falsafah kepemimpinan dalam angon bebek (menggembalakan bebek) atau angon wedhus (menggembala kambing), misalnya, si penggembala selalu berada di belakang. Posisi ini identik dengan kepemimpinan dalam shalat berjamaah, yakni para perempuan selalu berada di belakang. Perempuan adalah penggembala dalam konteks pemimpin yang angon (menggembala) kaum laki-laki yang berada di depannya. Dan aku pria pula, itu mengapa kadang ada perasaan aku ini diawasi, kalau aku melawan, pasti akan berakhir menjadi makanan panggang. Bukan main ini kehidupan, adalah esok yang tak semestinya aku cemaskan. Namun, ternyata aku adalah makhluk yang digembalakan. Udah pasti aku berada pada penjagaan yang mulia kan? Semoga bahaya gak menikam diriku, lagian apa ruginya bagi yang menggembalakan? Aku selalu lupa dengan di mana aku nanti disajikan. Selalu.
Falsafah kepemimpinan bocah angon (penggembala) tersebut, dapat kita temui di tembang Ilir-ilir. Dulu waktu aku SD, tembang ini sangat sensitif, entah mengapa para sesepuh melarang kami menyanyikannya di waktu malam, terlebih bulan purnama. Dan aneh lagi kami malah gak peduli, aku masih sering merasakan kengerian kala menyanyikan atau mendengar tembang Ilir ilir. Mungkin karena pernyataan para sesepuhku dahulu, katanya ngundang setan.
Tugas yang sedang diemban oleh bocah angon dalam tembang Ilir-ilir tersebut, adalah memanjat pohon belimbing yang bergigir lima. Dalam situasi sekarang dapat diartikan memanjat pohon reformasi, pohon demokratisasi, atau apapun istilah yang kita pakai. Lunyu-lunyu yo penekno. Selicin apa pun, terus harus kita panjat. Jatuh melorot lagi, naik lagi, melorot lagi, naik lagi. Dan seterusnya, hingga kita menyadari bahwa memang kita ini hanyalah makhluk, coba baca dan pahami dengan seksama, makhluk selalu dibaca melemah. Ketika membaca kata "makhluk", selalu respon kita akan melemah dan merendah. Seperti putus asa hilang harapan segalanya.
Oke, udah. Terima kasih atas jamuannya. Aku jamin, manusia adalah makhluk paling mudah diperdaya. Semoga kita gak memperdaya.
Oke, udah. Terima kasih atas jamuannya. Aku jamin, manusia adalah makhluk paling mudah diperdaya. Semoga kita gak memperdaya.
Komentar