Akhir akhir ini akal budiku makin dihabisi oleh naluri manusia, "Menikah". Dahulu dan sampai saat ini aku sangat sering mengatakan bahwa menikah adalah Duri yang terlindungi. Bersama dengan seseorang yang berbeda dalam haluan adalah sangat menyiksa. Wajar bahwa setelah menikah, manusia akan cepat menua. Menikah bukanlah hal yang penting, dan bukanlah atas dasar kepentingan. Pembukaan yang sangat jelek dariku, lagian mengapa pula mereka itu mudah sekali memutuskan untuk menikah? Jujur saja, aku lumayan iri dengan mereka yang ceria dalam pernikahannya, dan aku juga penasaran mengapa ada juga yang cemberut tiap hari setelah hari pernikahan. Aku selalu meyakini bahwa menikah adalah suatu keajaiban. Bayangkan, dari seorang yang gak paham apapun, menjelma menjadi sosok yang tau apapun, hanya karena belaian seorang yang di sayang. Sayangnya, cinta sejati sulit ditemukan, sudah ketemu saja masih sulit diwujudkan dalam bentuk pernikahan. Jangan sampai lagu Mama Aku Ingin Pulang dari Nike Ardilla dinyanyikan setelah pernikahan.
Dengan menikah, seseorang telah memikul amanah dan sebuah tanggungjawab yang paling besar dalam dirinya. Yaitu bertanggungjawab terhadap istri, anak serta keluarga yang kelak ia bimbing menuju jalan yang benar. Nah, sebuah frasa indah penuh jebakan itu, telah mengubah sudut pandanganku akan sebuah arti pernikahan. Kenapa aku harus menikah? Lagipula kan, kepedulian maupun ketulusan seseorang itu bisa dilihat dan dirasakan dari sikapnya sehari-hari. Apalagi manusia itu punya kepekaan tinggi, jadi bisa saja aku merasakan kenikmatan pernikahan tanpa harus menikah, ataupun aku bertanggungjawab akan nasib orang lain tanpa harus nikah juga. Kalau aku menghidupi anak istri orang, apa aku melanggar norma sosial? Kecuali kalau aku minta imbalan ya baru aku layak dipancung. Aku sangat bersyukur karena dijadikan sebagai seorang pria, walau emang harus diakui bahwa menjadi pria itu butuh pengakuan. Kalau gagal, mana ada yang mau mendengar ocehan ku, seringnya dicurigai membuatku menjadi pribadi yang sangat berhati-hati. Harusnya semua orang itu paham, bahwa tiap pria itu punya naluri yang sangat peka untuk melindungi, bahkan terhadap orang yang gak dikenal saja para pria pasti mau memberi pengayoman jika memang dibutuhkan, apalagi ini urusan rasa sayang. Kenapa harus ditanyakan tentang bagaimana kamu nanti melindunginya. Cinta itu sederhana, orang lain saja yang suka meruwetkan, melebih lebihkan dengan dasar kecurigaan. Adakah seorang pria sejati dalam dirimu?
Pernikahan memiliki segudang manfaat, terutama untuk kepentingan sosial, yakni memelihara kelangsungan jenis manusia, melanjutkan keturunan, melancarkan rezeki, menjaga kehormatan, keselamatan, dan ketenteraman hidup bermasyarakat. Siapa sih yang bilang kalau yang nggak nikah itu berpotensi merusak tatanan hidup bermasyarakat? Malahan aku kira para manusia berkeluarga itu yang merusak, kan mereka bisa selingkuh, bisa nyuri untuk makan anak istri, bisa konflik internal dibawa keluar rumah, dan banyak masalah lain yang mana hal itu sangat menodai ketenteraman hidup sosial bermasyarakat. Nah, aku cuma setuju dengan melancarkan rezeki. Oleh karena budaya keluarga dan masyarakat di lingkunganku yang cukup kompleks dengan aturan rezeki. Pernikahan adalah jalan terbaik untuk menelusuri kesuksesan, selama belum menikah, relakan dirimu menjadi tumpuan ibu bapak dan saudaramu. Terlebih masyarakat yang kadang ikut menumpu. Ajang pembuktian diri, nanti kalau lulus maka akan banyak tawaran nikah dari sekeliling. Apakah cinta itu diperjualbelikan? Terus terang, aku sangat ingin tau seberapa bahagia ketika bertemu seseorang yang aku dambakan. Apa iya aku akan buta akan kenyataan demi dia yang aku idamkan? Oleh karena aku ini sangat bertumpu pada akal yang kata banyak orang "tempat setan berdiam diri memengaruhi". Aku sedikit menyesal membaca banyak cerita karangan tentang cinta, akalku dipenuhi khayalan yang menjelma menjadi harapan.
Sebelum nikah, di masa kritis seperti ini, adalah hal yang membosankan dan mengikis harga diri. Kejujuran bisa hilang, padahal menanamnya dahulu butuh perjuangan yang gak menyenangkan. Memang, para gelandangan hubungan ini selalu menjadi momok ketenteraman dalam masyarakat, hidup bebas tanpa aturan dan tanpa pengawasan membuat suasana bermasyarakat makin mencekam. Terlebih ada seseorang yang mengungkit status dia punya hubungan, maka teriakan rasis akan dilontarkan. Dari mana aku tau, entah? Aku ini emang suka sok tau supaya aku terkesan nggak bermutu, cuma modal berani begitu. Ini bukan diriku, hanya seseorang yang aku kira mirip diriku gitu. Aku sadar betapa pentingnya pernikahan, untuk jangka pendek hal itu menguntungkan, tetapi faktanya pernikahan adalah jangka panjang, sungguh melelahkan atau membahagiakan? Pertanyaan klasik dari seseorang yang masih ingin tak terusik. Walau aslinya terus terisak. Belum masak sih, masa mau dilalap langsung, beracun.
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Nah... jika kamu menikah dan tidak bahagia, itu artinya kamu tidak paham jalan pernikahan, alhasil dirimu tak mencapai tujuan murni pernikahan. Rasakan, kan dulu aku pernah bilang bahwa ada banyak syarat dan buku pedoman untuk dinikmati sebelum kau mencicipi masakan utama kehidupan. Aku sendiri belumlah lagi memenuhi kelayakan pernikahan, adalah hal yang aneh jika aku memaksa menerobos tanpa tau aturan dan ketidakberesan perlengkapan. Walaupun aslinya aku ini suka melanggar aturan, tapi kalau untuk melanggar yang berakibat pada hilangnya nyawa kemanusiaan, ya aku pikir ulang dong. Begini-begini aku juga takut mati, tau. Karena kalau udah mati, kita nggak bisa nikah lagi, yang ada malah ditanya : mengapa kamu dulu nggak nikah?! Lalu aku marah-marah karena ternyata nikah itu harus dengan lawan jenis, sedangkan aku cuma kenal dengan jenisku sendiri, begitu. Apakah di dunia ini ada wanita?
Hal yang paling menakutkan dalam cengkeraman pernikahan adalah bertambahnya urusan, dan ini tentang mengurus manusia yang mana makhluk satu ini cukup mengganggu. Berbeda dengan peliharaan, yang jika dia menguntungkan maka kita sayang penuh kasih, dan kala merugikan kita sembelih. Tapi ini manusia! Mau di apakan saja, serba salah. Apalagi isu kebebasan saat ini sudah seperti wabah hitam di Eropa abad pertengahan. Pertanyaannya mudah; Mampukah kau menjunjung realisme pernikahan? Nggak, ya udah. Kasus ditutup!
Isu pernikahan sangat vokal ketika selesai Perang Dunia 2. Ini oleh karena populasi manusia yang kritis, ada banyak sebenarnya... tapi cuma manusia jelata yang tak tau aturan main dunia. Memangnya aku tau apa coba tentang aturan main dunia : saling menerkam untuk bisa makan? Runyam kan? Fungsi pernikahan memang terkesan dinamis. Dulu waktu zaman kerajaan, pernikahan adalah ajang kesenangan. Ada banyak jenis sayembara hanya untuk memperebutkan si kembang desa. Padahal ujungnya disita si raja untuk menambah koleksi selirnya. Untung dahulu isu cinta sejati belum lahir, tapi sepertinya sudah lahir sih. Cuma gerakannya masih terselubung. Sedang saat ini, fungsi pernikahan ada banyak penafsiran, bagus kan? Ada yang berdasar pada pasal keagamaan, ada karena tekanan sosial, ada karena faktor kejenuhan, ada yang digunakan untuk unjuk kemampuan, ada yang digunakan untuk kepentingan perekonomian, dan ada yang terpaksa oleh sebab hamil duluan. Kampret yang fungsi pernikahan terakhir, mereka ini yang tak pernah memperhatikan aturan sosial dan keagamaan. Sedang aku saat ini mengartikan pernikahan sebagai sarana muslihat dalam rangka menguasai sumber daya perekonomian. Kampret pula ini tujuan.
Ada jutaan masalah kala kata sah diucapkan di pelaminan. Apa para saksi dalam hati mereka ketawa kali ya, harusnya mereka kan melontarkan banyak pertanyaan sebelum bilang sah, seolah mereka malah mendukung setiap masalah yang nantinya dipikul kedua mempelai. Kalau aku lebih suka melambai. Aku belum merasakan sendiri memang, tapi dari uji pengamatan, tak ada yang paham makna realistis pernikahan. Hipotesis mereka waktu pacaran, pupus sudah di jenjang pernikahan, "Rasakan!" Ucapku seraya menghitung uang.
Belum nanti kala anak pertama lahir, senangnya cuma halusinasi, ke depan susah dipelajari. Ada banyak yang harus dipersiapkan, persoalan tentang mau di apakan ini jabang bayi? Belum nanti ketika si bayi tumbuh jadi penguasa tirani di mahligai rumah tangga. Perahu yang kalian berlayar bersama seakan diterpa badai kala anak selanjutnya lahir. Karena slogan 'dua anak cukup' maka aku lahirkan satu lagi sosok tirani yang akan membuat kalian bertekuk lutut bak penjahat perang. Itulah yang melandasiku akan pentingnya persiapan pernikahan. Karena pernikahan adalah sebuah fase, maka kurikulum pernikahan terbaru haruslah menjadi ajaran utama di bangku perkuliahan. Aku sendiri tak pernah berhenti mengagumi rasionalitas pernikahan, tampak sangat ideal guna memperkokoh perekonomian. Bukan maksudku menjual anak istri, tapi lebih pada satu idealisme; 'Karena kesuksesan ada pada istri dan anak.' Tapi, idealisme ini pun berlaku sebaliknya. Jadi... aku harus bagaimana?
Ternyata saya sangat pandai merangkai kata negatif yang menjerumuskan. Sekarang waktunya kalimat positif yang menyejukkan.
Mengapresiasi mereka yang sukses dalam berkeluarga adalah kesukaanku. Sedang saat ini banyak pemuda/i yang angkuh dengan aturan pernikahan, meremehkan fans berat keluarga sukses, dan acuh pada pra pernikahan. Apa yang mendasari hal buruk tersebut? Tentu karena lingkungan yang menampilkan penafsiran-penafsiran "dungu" dan dukungan pada mereka yang menjunjung kedunguan tersebut. Apa yang mendasari mereka yang dungu untuk bersatu? Tentu karena manusia dungu akan sangat lemah ketika sendiri. Jadi, saat dua sejoli dungu bersatu, apa keturunan selanjutnya yang akan dihasilkan? Sedang aku saat ini termasuk budayawan romantis yang kelewat dungu. Ternyata aku belum pandai berpikir positif.
Sayu...
Layu...
Di laut biru.
Rasakan aku!
Bukan begitu?
The Introvert, Ridwan
Dengan menikah, seseorang telah memikul amanah dan sebuah tanggungjawab yang paling besar dalam dirinya. Yaitu bertanggungjawab terhadap istri, anak serta keluarga yang kelak ia bimbing menuju jalan yang benar. Nah, sebuah frasa indah penuh jebakan itu, telah mengubah sudut pandanganku akan sebuah arti pernikahan. Kenapa aku harus menikah? Lagipula kan, kepedulian maupun ketulusan seseorang itu bisa dilihat dan dirasakan dari sikapnya sehari-hari. Apalagi manusia itu punya kepekaan tinggi, jadi bisa saja aku merasakan kenikmatan pernikahan tanpa harus menikah, ataupun aku bertanggungjawab akan nasib orang lain tanpa harus nikah juga. Kalau aku menghidupi anak istri orang, apa aku melanggar norma sosial? Kecuali kalau aku minta imbalan ya baru aku layak dipancung. Aku sangat bersyukur karena dijadikan sebagai seorang pria, walau emang harus diakui bahwa menjadi pria itu butuh pengakuan. Kalau gagal, mana ada yang mau mendengar ocehan ku, seringnya dicurigai membuatku menjadi pribadi yang sangat berhati-hati. Harusnya semua orang itu paham, bahwa tiap pria itu punya naluri yang sangat peka untuk melindungi, bahkan terhadap orang yang gak dikenal saja para pria pasti mau memberi pengayoman jika memang dibutuhkan, apalagi ini urusan rasa sayang. Kenapa harus ditanyakan tentang bagaimana kamu nanti melindunginya. Cinta itu sederhana, orang lain saja yang suka meruwetkan, melebih lebihkan dengan dasar kecurigaan. Adakah seorang pria sejati dalam dirimu?

Pernikahan memiliki segudang manfaat, terutama untuk kepentingan sosial, yakni memelihara kelangsungan jenis manusia, melanjutkan keturunan, melancarkan rezeki, menjaga kehormatan, keselamatan, dan ketenteraman hidup bermasyarakat. Siapa sih yang bilang kalau yang nggak nikah itu berpotensi merusak tatanan hidup bermasyarakat? Malahan aku kira para manusia berkeluarga itu yang merusak, kan mereka bisa selingkuh, bisa nyuri untuk makan anak istri, bisa konflik internal dibawa keluar rumah, dan banyak masalah lain yang mana hal itu sangat menodai ketenteraman hidup sosial bermasyarakat. Nah, aku cuma setuju dengan melancarkan rezeki. Oleh karena budaya keluarga dan masyarakat di lingkunganku yang cukup kompleks dengan aturan rezeki. Pernikahan adalah jalan terbaik untuk menelusuri kesuksesan, selama belum menikah, relakan dirimu menjadi tumpuan ibu bapak dan saudaramu. Terlebih masyarakat yang kadang ikut menumpu. Ajang pembuktian diri, nanti kalau lulus maka akan banyak tawaran nikah dari sekeliling. Apakah cinta itu diperjualbelikan? Terus terang, aku sangat ingin tau seberapa bahagia ketika bertemu seseorang yang aku dambakan. Apa iya aku akan buta akan kenyataan demi dia yang aku idamkan? Oleh karena aku ini sangat bertumpu pada akal yang kata banyak orang "tempat setan berdiam diri memengaruhi". Aku sedikit menyesal membaca banyak cerita karangan tentang cinta, akalku dipenuhi khayalan yang menjelma menjadi harapan.
Sebelum nikah, di masa kritis seperti ini, adalah hal yang membosankan dan mengikis harga diri. Kejujuran bisa hilang, padahal menanamnya dahulu butuh perjuangan yang gak menyenangkan. Memang, para gelandangan hubungan ini selalu menjadi momok ketenteraman dalam masyarakat, hidup bebas tanpa aturan dan tanpa pengawasan membuat suasana bermasyarakat makin mencekam. Terlebih ada seseorang yang mengungkit status dia punya hubungan, maka teriakan rasis akan dilontarkan. Dari mana aku tau, entah? Aku ini emang suka sok tau supaya aku terkesan nggak bermutu, cuma modal berani begitu. Ini bukan diriku, hanya seseorang yang aku kira mirip diriku gitu. Aku sadar betapa pentingnya pernikahan, untuk jangka pendek hal itu menguntungkan, tetapi faktanya pernikahan adalah jangka panjang, sungguh melelahkan atau membahagiakan? Pertanyaan klasik dari seseorang yang masih ingin tak terusik. Walau aslinya terus terisak. Belum masak sih, masa mau dilalap langsung, beracun.
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Nah... jika kamu menikah dan tidak bahagia, itu artinya kamu tidak paham jalan pernikahan, alhasil dirimu tak mencapai tujuan murni pernikahan. Rasakan, kan dulu aku pernah bilang bahwa ada banyak syarat dan buku pedoman untuk dinikmati sebelum kau mencicipi masakan utama kehidupan. Aku sendiri belumlah lagi memenuhi kelayakan pernikahan, adalah hal yang aneh jika aku memaksa menerobos tanpa tau aturan dan ketidakberesan perlengkapan. Walaupun aslinya aku ini suka melanggar aturan, tapi kalau untuk melanggar yang berakibat pada hilangnya nyawa kemanusiaan, ya aku pikir ulang dong. Begini-begini aku juga takut mati, tau. Karena kalau udah mati, kita nggak bisa nikah lagi, yang ada malah ditanya : mengapa kamu dulu nggak nikah?! Lalu aku marah-marah karena ternyata nikah itu harus dengan lawan jenis, sedangkan aku cuma kenal dengan jenisku sendiri, begitu. Apakah di dunia ini ada wanita?
Hal yang paling menakutkan dalam cengkeraman pernikahan adalah bertambahnya urusan, dan ini tentang mengurus manusia yang mana makhluk satu ini cukup mengganggu. Berbeda dengan peliharaan, yang jika dia menguntungkan maka kita sayang penuh kasih, dan kala merugikan kita sembelih. Tapi ini manusia! Mau di apakan saja, serba salah. Apalagi isu kebebasan saat ini sudah seperti wabah hitam di Eropa abad pertengahan. Pertanyaannya mudah; Mampukah kau menjunjung realisme pernikahan? Nggak, ya udah. Kasus ditutup!
Isu pernikahan sangat vokal ketika selesai Perang Dunia 2. Ini oleh karena populasi manusia yang kritis, ada banyak sebenarnya... tapi cuma manusia jelata yang tak tau aturan main dunia. Memangnya aku tau apa coba tentang aturan main dunia : saling menerkam untuk bisa makan? Runyam kan? Fungsi pernikahan memang terkesan dinamis. Dulu waktu zaman kerajaan, pernikahan adalah ajang kesenangan. Ada banyak jenis sayembara hanya untuk memperebutkan si kembang desa. Padahal ujungnya disita si raja untuk menambah koleksi selirnya. Untung dahulu isu cinta sejati belum lahir, tapi sepertinya sudah lahir sih. Cuma gerakannya masih terselubung. Sedang saat ini, fungsi pernikahan ada banyak penafsiran, bagus kan? Ada yang berdasar pada pasal keagamaan, ada karena tekanan sosial, ada karena faktor kejenuhan, ada yang digunakan untuk unjuk kemampuan, ada yang digunakan untuk kepentingan perekonomian, dan ada yang terpaksa oleh sebab hamil duluan. Kampret yang fungsi pernikahan terakhir, mereka ini yang tak pernah memperhatikan aturan sosial dan keagamaan. Sedang aku saat ini mengartikan pernikahan sebagai sarana muslihat dalam rangka menguasai sumber daya perekonomian. Kampret pula ini tujuan.
Ada jutaan masalah kala kata sah diucapkan di pelaminan. Apa para saksi dalam hati mereka ketawa kali ya, harusnya mereka kan melontarkan banyak pertanyaan sebelum bilang sah, seolah mereka malah mendukung setiap masalah yang nantinya dipikul kedua mempelai. Kalau aku lebih suka melambai. Aku belum merasakan sendiri memang, tapi dari uji pengamatan, tak ada yang paham makna realistis pernikahan. Hipotesis mereka waktu pacaran, pupus sudah di jenjang pernikahan, "Rasakan!" Ucapku seraya menghitung uang.
Belum nanti kala anak pertama lahir, senangnya cuma halusinasi, ke depan susah dipelajari. Ada banyak yang harus dipersiapkan, persoalan tentang mau di apakan ini jabang bayi? Belum nanti ketika si bayi tumbuh jadi penguasa tirani di mahligai rumah tangga. Perahu yang kalian berlayar bersama seakan diterpa badai kala anak selanjutnya lahir. Karena slogan 'dua anak cukup' maka aku lahirkan satu lagi sosok tirani yang akan membuat kalian bertekuk lutut bak penjahat perang. Itulah yang melandasiku akan pentingnya persiapan pernikahan. Karena pernikahan adalah sebuah fase, maka kurikulum pernikahan terbaru haruslah menjadi ajaran utama di bangku perkuliahan. Aku sendiri tak pernah berhenti mengagumi rasionalitas pernikahan, tampak sangat ideal guna memperkokoh perekonomian. Bukan maksudku menjual anak istri, tapi lebih pada satu idealisme; 'Karena kesuksesan ada pada istri dan anak.' Tapi, idealisme ini pun berlaku sebaliknya. Jadi... aku harus bagaimana?
Ternyata saya sangat pandai merangkai kata negatif yang menjerumuskan. Sekarang waktunya kalimat positif yang menyejukkan.

Mengapresiasi mereka yang sukses dalam berkeluarga adalah kesukaanku. Sedang saat ini banyak pemuda/i yang angkuh dengan aturan pernikahan, meremehkan fans berat keluarga sukses, dan acuh pada pra pernikahan. Apa yang mendasari hal buruk tersebut? Tentu karena lingkungan yang menampilkan penafsiran-penafsiran "dungu" dan dukungan pada mereka yang menjunjung kedunguan tersebut. Apa yang mendasari mereka yang dungu untuk bersatu? Tentu karena manusia dungu akan sangat lemah ketika sendiri. Jadi, saat dua sejoli dungu bersatu, apa keturunan selanjutnya yang akan dihasilkan? Sedang aku saat ini termasuk budayawan romantis yang kelewat dungu. Ternyata aku belum pandai berpikir positif.
Sayu...
Layu...
Di laut biru.
Rasakan aku!
Bukan begitu?
The Introvert, Ridwan
Komentar