Langsung ke konten utama

Ulam Tirbah-Bathari Uma

      Sang Hyang Manikmaya yang memang sangat bijaksana serta sangat mahir dalam tata olah kebatinan, tidak samar lagi bahwa orang-orang di negeri Parasu dan sekitarnya, mempertuhankan ikan besar yang ada di rawa, tepatnya di wilayah kerajaan Afganistan. Selesai menghaturkan sedekah, Sang Hyang Manikmaya langsung mendekati tuhan yang berupa raja ikan tersebut. Si ikan segera terlihat mengambang, dan terlihat begitu sangat besar serta memiliki aura magis dan begitu tampak menakutkan dalam segala halnya. Kalau ikan tersebut bergerak, seluruh sisiknya kelihatan bercahaya seperti cahaya matahari. Sang Hyang Manikmaya, meski sudah sangat paham, dengan cara sembunyi-sembunyi seolah-olah tidak mengerti akan ikan tersebut. Lalu ia berkata: "Hai, engkau ini ikan apa, sehingga kelihatan wingit (magis) serta semu? Selain itu, sisikmu memancarkan cahaya yang memancar?"

     Mendengarkan kata-kata Sang Hyang Manikmaya, Ulam Tirbah yang ternyata adalah nama ikan tersebut menjadi sangat terkejut, karena belum pernah ada manusia yang berani bertanya yang demikian. "Hai manusia yang tak tahu peri sopan santun!" jawab Ulam Tirbah: "Mengapa kau sangat berani dan begitu menyepelekan aku. Apakah kau tidak mengetahui kalau aku ini sesungguhnya adalah pangeraning jagad!"

     Mendengar jawaban yang demikian, Sanag Hyang Manikmaya tersenyum lalu berkata: "Hai, ikan yang sangat keterlaluan. Bagaimana mungkin, sehingga engkau mengaku sebagai Tuhan, padahal tidak ada wujud Tuhan selain wujudku!"


     Pada saat itu mereka berdua bertangkar sama-sama mengaku sebagai Tuhan. Sang Hyang Manikmaya lalu me-matak aji kesaktian pangabaran. Pada saat itu secara mendadak air rawa yang di huni  Ulam Tirbah mendidih disertai gelombang bergelora dahsyat. Panasnya melebihi air yang sedang mendidih. Ulam Tirbah gelagapan tak mampu bertahan, ia merasa kalah adu kesaktian. Sehingga ia pun berkata: "Duh, Pikulun, sejak saat ini saya sudah menganggap, kalau sesungguhnya engkau adalah Tuhan semesta alam. Tetapi kalau benar engkau yang merengkuh jiwaku, apakah tuan mengetahui asal-usulku ini?"

     "Hai, ikan!" Sang Hyang Manikmaya menjawab: "Engkau itu sesungguhnya seorang perempuan yang bernama Umayi, anak seorang nahkoda besar yang bernama Umaran dari negeri Siblistan. Engkau pergi dari kerajaan karena ingin bertapa, engkau mengharapkan supaya dapat menjadi istri Kang Murbeng Jagad. Namun, jalan yang kau tempuh keliru sehingga engkau terjerumus dan tubuhmu hancur menjelma menjadi sesosok ikan!"

     Setelah Ulam Tirbah mendengar penjelasan dari Sang Hyang Manikmaya tadi, hatinya semakin kecut dan katakutan. Lalu ia berkata: "Duh, Pangeran Mulia yang sangat berkuasa, semoga engkau mengampuni dan sekiranya memberikan kemurahan padaku. Hamba ingin sembuh kembali sempurna menjadi manusia!"

     "Hai, ikan. Karena engkau sesungguhnya adalah manusia, kelak juga akan kembali berwujud manusia. Namun, sekarang ini belumlah saatnya. Tinggallah sementara engkau di sini!" jawab Sang Hyang Manikmaya.

     Ulam Tirbah lantas melaksanakan apa yang menjadi kehendak Sang Hyang Manikmaya, serta akan tetap menyembahnya. Sejak saat itu, segala jenis binatang air di rawa tersebut serta merta mengikuti menyembah Sang Hyang Manikmaya. Maka sejak saat itu, Sang Hyang Manikmaya bergelar Sang Hyang Utipati. Yang artinya adalah Tuhannya segala binatang air, selanjutnya Sang Hyang Manikmaya pulang ke kahyangan.

     Sesampainya di kahyangan, Sang Hyang Manikmaya hatinya selalu berpikir, bagaimana supaya orang-orang di negeri Parasu berhenti menyembah ikan serta supaya dapat beralih menyembah dirinya. Dan akhirnya, Sang Hyang Manikmaya merencanakan sebuah siasat yaitu dengan memasang aji kesaktian kemayan. Oleh karena aji kesaktian tersebut, secara mendadak seluruh warga negeri Parasu dan di negeri Persi seluruhnya yang menyembah ikan tersebut mendapatkan mara bahaya, berupa musibah penyakit yang sangat dahsyat. Yang sakit pagi, sorenya mati, demikian yang sore sakit, paginya mati. Sang Prabu Jirdasta selaku penguasa negeri Parasu juga turut tertimpa penyakit tersebut. Orang-orang di negeri Parasu sangat takut dan kebingungan bagaimana mencari tempat perlindungan. Yang di sebelah barat berbondong-bondong mengungsi ke negeri Ibrani dan juga ke negeri Brusah, yang kelak di kemudian hari negeri Brusah dikenal sebagai negeri Turkistan. Sedangkan warga yang di wilayah Kasmir, Afganistan, dan Bilujistan, banyak yang mengungsi ke negeri Hindustan.

     Dengan mengungsi di negeri Hindustan inilah, mereka diberitahu oleh orang-orang Hindi bahwa jika ingin sembuh dan selamat seyogyanya mereka menyembah kepada Sang Hyang Manikmaya. Sebab, dialah Tuhan yang sejati. Orang-orang negeri Parasu yang mengikuti saran tersebut segera perlahan-lahan sembuh, sedangkan mereka yang tidak mengikuti saran warga Hindi, meninggal dunia. Kejadian di negeri Hindustan ini akhirnya sampai juga di telinga Prabu Jirdasta, tetapi naas Sang Prabu tidak mau mengikuti kabar yang diberitakan oleh punggawa bawahannya. Alhasil Prabu Jirdasta pun mangkat. Sementara putra mahkota negeri Parasu yang bernama Dastandar, mengikuti apa yang diberitakan, dan ia pun selamat. Untuk selanjutnya ia yang menggantikan kedudukan ayahnya. Sang Raja Dastandar untuk selanjutnya mengeluarkan perintah kepada para penguasa di Kasmir, Bilujistan, dan juga Afganistan serta kepada seluruh warga yang menyembah kepada Ulam Tirbah untuk mulai saat itu juga menyembah Sang Hyang Manikmaya. Dengan itulah maka seluruh mara bahaya penyakit di negeri Parasu sirna.

     Setelah lenyapnya wabah penyakit tersebut, Sang Raja Dastandar hatinya dilanda gelisah, gundah gulana. Ia selalu khawatir sebab belum tahu, siapa dan di mana sesungguhnya Sang Hyang Manikmaya, sebagai penolak balak, kecuali hanya mendengar dari para punggawa kerajaan semata. Sang Raja Dastandar lalu menyamar, untuk kemudian tanpa satu pun abdi pengiring, pergi dari kerajaan bermaksud menuju ke rawa tempat tinggal Ulam Tirbah.

Selesai udahlah....

Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar

Anonim mengatakan…
kak boleh tau lanjutannya?
untuk tugas matkul filologi kak