Langsung ke konten utama

Tempat Lahir

      Entah ini apa yang aku dinasibkan, lahir bersamaan dengan banyaknya tragedi mengerikan di seluruh penjuru negeri. Sebelumnya, mohon dimaklumi kalau ada salah pengetikan, diriku kalau menuliskan sesuatu selalu dengan nafsu yang menggebu. Kalau aku baca dan nikmati konten-konten dokumentasi, tahun 90an akhir adalah masa di mana Indonesia ibaratnya hampir gak aman tenteram. Tak baca semua isi bahasan Greg Barton tentang pak Gus Dur, semuanya tentang bagaimana kondisi Indonesia akhir 90an dan bagaimana peran Gus Dur saat itu. Cerita di kota masih gak begitu menakutkan, bayangin di tempatku dulu waktu mamaku masih hamil diriku, gak ada listrik, di pelosok dan perbatasan lagi wilayahnya, apalagi saat itu juga ceritanya banyak maling yang aksinya gak diam-diam lagi, mereka datang ke suatu desa gitu dengan bergerombol, mengancam warga di situ untuk menyerahkan apa yang mereka minta. Sampai banyak yang gak kuat dan memilih untuk pindah rumah. Apa kejadian begini dulu di dengar oleh mereka yang di kota besar? Belum lagi kalau musim pemilu, ya ampun banyak tentara yang menghardik warga biar pilih Golkar. Pokoknya zaman itu hidup hanya sebatas untuk bertahan hidup, gak ada yang namanya melebar luaskan kehidupan atau apalah namanya.


     Nah, di sinilah aku lahir, di sebuah wilayah yang penuh cerita kerja paksa yang tampaknyaa warga gak menyadari atau lebih tepatnya gak berani mengambil inisiatif melawan. Zaman kakekku dulu, dalam seminggu, aktivitas warga sangatlah merugikan mereka. Bayangin, selama tiga hari dalam seminggu, para warga dipaksa untuk bekerja membantu kepala desa, tapi kepala desanya gak ikut kerja loh ya, dan ini juga bukan termasuk gotong royong juga, tetapi si kepala desa mengatakan dengan penuh percaya diri bahwa ini adalah gotong royong yang diwajibkan negara. Terus lagi yang kasusnya lebih parah adalah bahwa warga saat itu juga harus setor upeti kepada kepala desanya, dan warga sendirilah yang harus mengantar itu upeti ke rumah pak kades. Saat itu paling cepet naik sepeda ontel, tapi mayoritas ya jalan kaki. Begitulah nasib para mbah-mbah ku dulu, berjuang tanpa ingin tau apakah yang mereka perjuangkan adalah yang benar, mereka gak cerewet dan manja seperti diriku sekarang. Mereka bercocok tanam berhadapan dengan aparat negara yang bisanya cuma minta saja, dan juga melawan serangan hewan liar yang seringnya membuat mereka gak bisa tidur semalam suntuk. Belum lagi ancaman maling yang kalau datang seperti nyawa mau melayang.

     Saat aku lahir, kondisi desa ini entah bagaimana, gak ada rumah yang terbuat dari beton atau bata atau apalah yang kuat-kuat, semua rumah warga paling bagus yo cuma dari papan, atapnya genteng tapi. Lumayan, malah mayoritas atapnya dari alang-alang. Masih seperti rumah rakyat jelata zaman Majapahit dulu kayaknya. Gak ada apapun yang terang di sini dulu, kalau matahari wes tenggelam yo masuk rumah semua dengan pencahayaan ublek, gak bisa bayangin lah aku dulu kok mampu para warga beli minyak lampu. Seingatku, yang lucu adalah bahwa waktu malam banyak pemuda yang pergi ke ladang untuk sekedar cari makan, yaitu nyuluh gemak. Mereka bawa oncor songko preng ngono kae, wes emboh lah pikirane wong mbiyen ora jelas blas. Jadinya ya diriku sering makan daging puyuh atau telurnya, tapi aku yakin haram itu makanan, lagian bapakku yo ora ngerti masalah tentang penyembelihan atas nama Allah swt. juga. Tetapi yang membuatku kagum hanya satu hal, bahwa diriku bisa hidup sampai sekarang. Masalahnya adalah, bapak mamaku dulu tinggal di desa yang seperti ini loh, yang mana tanahnya sangat nggak mendukung untuk padi, cuma polowijo yang mereka tanam, itupun hasilnya gak maksimal. Akhirnya datanglah PT sawit yang memberi solusi, walau ujungnya ruwet sih. Setidaknya di awal PT itu berusaha di sini, warga di sini mulai bisa mengerjakan sesuatu yang bisa disebut sebagai pekerjaan layak. Walau mereka bekerja lebih keras dari kerjaan mereka sebelumnya, setidaknya mereka dibayar. Dan mulai saat itulah warga di sini mulai mengenal uang. Diriku saat masa jayanya PT, masih sekolah SD, sering lihat mobil jonder ngangkut buah sawit, dan di pinggir jalan ku lihat bertumpuk-tumpuk buah sawit. Perlu diketahui bahwa yang menikmati hasil kelapa sawit dulu bukanlah warga sini, tetapi ya tetap pak kades dan komplotannya lah. Nasib jadi rakyat jelata.

     Belum lagi cerita di permukiman penduduk asli Sumatera, ceritanya begitu tragis untuk ku ceritakan, penuh darah dan aroma dendam. Sensor wae lah. Di tempatku lahir, gak ada aktivitas ngaji, pulang sekolah yang ngeluyur ke sungai dan masuk hutan cari santapan. Ya hampir seperti hewan gitu hidupnya, gak ada aura agama di sini dulu, bahkan sampai sekarang ya cuma ada kemajuan sedikit, tapi yo maju kan yo layak diapresiasi. Kejawen semua warga sini pokoknya, manunggaling kawulo gusti. Gak pernah sholat, puasa apa lagi, tapi di sini sejak dulu kalau lebaran yo ikut rame loh. Seting gendurenan juga, nah saat itulah bisa makan enak. Sebenarnya banyak ikan di sini dulu, tapi gak bisa nangkapnya, kalau mau beli pancing yo harus ke pasar yang jaraknya sekitar 7 atau 8 km, gak ada motor dulu itu. Kalau menurut penuturan mamaku, tempat lahirku ini mulai ada pembangunan saat pak SBY jadi Presiden, mulai ada pembangunan jalan, walau jalannya cuma di kasih batu gunung yang di tata rapi doang, malah nyusahin sebenernya, lalu perlahan di siram aspal. Lalu mulai disalurkan listrik juga, dan saat itu mulai meledak komoditas karet. Semenjak itulah diriku ingat betul bagaimana tempat lahirku ini mulai rame pembangunan, warga mulai berduyun-duyun memperlayakkan hunian masing-masing. Dan juga mulai berseliweran kendaraan mesin roda dua.

     Cukup sampai di situ sajalah, karena gak lama setelah masa itu, diriku lulus Sekolah Dasar dan pergi ke daerah lain yang lebih tertata secara lingkungan kemasyarakatan. Oh ya, saat itu sebelum aku pindah, mulai ada hp loh, tapi yang punya satu desa paling cuma berapa orang gitu, gak lebih dari lima orang seingatku, jadi warga sini sok banget gitu nelpon seseorang di pinggir jalan, atau pemudanya main tetris di pos ronda sambil seriusan ketawanya. Ada yang main gembot juga ya ampun, anehnya aku dulu yo ikutan gitu loh, edan tenan. Kalau buku bacaan yang rame saat itu komik petruk gareng, ceritanya anehnya kok selalu horror si petruk gareng dulu, aneh tenan. Kalau sore yo anak-anak ngumpul bareng, main segala macam permainan tradisionil, ibuk-ibuk podo petan kutu rambut, hidup saat itu udah seperti kehidupan yang sangat serius. Walau hanya sebuah permainan yang harusnya ditujukan untuk hiburan, tetapi diriku dan anak-anak lainnya begitu serius sampai nangis ngadu ke bapaknya kalau kalah. Sebuah kenangan yang sulit aku lupakan, kalau begini ceritanya sih, aku pengen jalan ke depan sambil mata terus lihat ke belakang, biarlah di depan ada jebakan, yang penting masa lalu selalu membuatku senang keheranan.

Malam sayang, tragis bener nasib anak-anak zaman sekarang.

Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar