Kemarin, aku bermain sama adikku yang masih tiga tahun umurnya, umur yang sangat produktif untuk bersenda gurau. Umur yang juga mengendalikan perspective unik, dan juga endusan yang tajam akan perasaan lingkungan. Ya kan dia udah mampu melewati masa tanpa makanan pokok, bahkan dia bertahan hidup tanpa air putih, nggak disangka mereka begitu kuatnya. Diriku yang udah segini aja kalau sehari nggak minum air putih pasti keok, lah dia malah nggak makan nasi pula. Padahal katanya, kita ini belum kenyang kalau nasi belum terlahap selama seharian. Dia nggak makan nasi untuk masa berpekan pekan. Harusnya kita takjub bukan? Itulah mengapa kita harusnya yakin bahwa Tuhan udah pasti menanggung kita punya makan. Oleh karena akal yang udah aktif, jadinya kita melawan Tuhan, aku menyalahkan masa puber dalam hal ini. Udah itu dulu, dibanding teman seumurannya, adikku termasuk lambat, terutama dalam hal menguasai olah kata. Ketika dengannya, diriku yang penuh harga diri ini langsung ingin segera nikah dan punya anak. Sangat disayangkan, aku belum mampu menguasai sifat tercelaku.
Kemarin di hari raya, banyak yang datang membawa anak mereka yang masih balita. Tega bener mereka, padahal aku yakin si anak ogah diajak jalan, seburuk buruk manusia adalah mereka yang berakal emang. Makanya, aku suka membaca kalimat yang unik, 'hiraukan akal untuk urusan cinta'. Nah kan enak, jadinya cinta itu nggak bermakna kalau akal kita gunakan, kita ikuti nafsu cinta aja, percayalah pada kekuatan cinta, ya ampun aku ketawa sendiri kalau nulis urusan cinta ini, tapi emang nikmat kok, harusnya pakai akal sehat dong, ya ogah. Biarlah cinta menguasaiku, supaya diriku terjebak di pusaran kenikmatan hakiki manusia. Udah ini cukuplah. Dari hasil pengamatan, manusia emang udah beda sejak balita. Sangat meyakinkan diriku, bahwa kecenderungan watak itu emang nyata. Jikalau begitu, aku layak belajar dan bersiap dengan segala kehendak-Nya. Aku nulis begini aslinya untuk mengalihkan pikiranku yang makin liar gak jelas, walau masih kepikiran juga sih. Heran,
Seseorang siapa saja yang belum masuk SD itu luar biasa, mereka walau balita mampu menyadarkan diriku yang udah berkumis ini. Padahal aneh juga, biasanya diriku ini gak percayaan sama tindak ucapan orang. Bahkan, ada yang bilang bahwa yang mampu melihat jeritan kaum setan hanyalah para balita. Mereka itu udah jelas punya kharisma, dan terlebih mereka juga bijaksana. Kadang sampai aku ingin mencuci otak mereka, tapi nggak tega. Terlebih, mereka suka bertanya tentang benda, dia sekarang bersamaku ingin tau tentang alat elektronik. Sialnya, diriku nggak pandai menjelaskan apapun.
Sebenarnya, diriku ini cukup cemas, mengingat para anak saat ini gak begitu pandai hukum sopan santun. Banyak maunya juga, gampang kena efek negatif pergaulan dan susah dinasehati pula. Ujungnya para orang tua dan tetangga yang susah kan? Tetapi kalau ditarik perlahan, para orang tua juga saat ini mengajarkan sikap yang aneh sih. Mau gimana lagi, kayaknya emang sejak dahulu udah begitu. Masalah seriusnya begini, hanya cukup satu anak untuk membuat satu keluarga besar terkena masalah sosial ekonomi. Nah itu dariku, tapi jangan khawatir, hidup ini tidak lain adalah ujian, jadi pasti ada kunci jawabannya, tinggal sabar aja. Atau belajar dari cerita hidup masa lalu, karena katanya bahwa hidup ini hanyalah ulangan setiap kejadian yang udah dijadikan oleh pemilik segala bentuk kejadian. Oleh karena kita ini dijadikan untuk mengerti dan meneladani tiap kejadian. Semoga nggak terjadi apa apa yang membuat kita lupa. Oleh karena awal dari salah adalah lupa dan melupa. Oh iya aku lupa, kapan aku ke Jakarta ya, moga cepat terlaksana. Sebelum tenggelam itu kota.
Kalau kembali membicarakan balita, aku jadi ingin tau apakah diriku dulu termasuk nakal atau nggak. Tetapi dari cerita orang sekitar yang saat ini udah tua, aku dulu cuma jadi bahan ketawaan orang. Dengan tampilan kepala plontos, baju kotor, dan celana robek. Dengan kondisi fisik yang mungil juga, tetapi aku jadi sanjungan dalam hal akal budi, makanya aku tetap bangga sampai saat ini. Tetapi terserah dengan itu semua, yang jelas hari raya kemarin aku nggak berkunjung ke rumah sanak kerabat atau bahkan tetangga. Rekor tersendiri untukku. Tetapi akhirnya aku berkunjung di hari ke 7. Ya kan aku ini tokoh protagonist, jadinya suka muncul di akhir adegan dong.
Jikalau emang ada penjahat, yang paling tepat memerankannya adalah si Dian Amelyadi. Ya nggak,
Kemarin di hari raya, banyak yang datang membawa anak mereka yang masih balita. Tega bener mereka, padahal aku yakin si anak ogah diajak jalan, seburuk buruk manusia adalah mereka yang berakal emang. Makanya, aku suka membaca kalimat yang unik, 'hiraukan akal untuk urusan cinta'. Nah kan enak, jadinya cinta itu nggak bermakna kalau akal kita gunakan, kita ikuti nafsu cinta aja, percayalah pada kekuatan cinta, ya ampun aku ketawa sendiri kalau nulis urusan cinta ini, tapi emang nikmat kok, harusnya pakai akal sehat dong, ya ogah. Biarlah cinta menguasaiku, supaya diriku terjebak di pusaran kenikmatan hakiki manusia. Udah ini cukuplah. Dari hasil pengamatan, manusia emang udah beda sejak balita. Sangat meyakinkan diriku, bahwa kecenderungan watak itu emang nyata. Jikalau begitu, aku layak belajar dan bersiap dengan segala kehendak-Nya. Aku nulis begini aslinya untuk mengalihkan pikiranku yang makin liar gak jelas, walau masih kepikiran juga sih. Heran,
Seseorang siapa saja yang belum masuk SD itu luar biasa, mereka walau balita mampu menyadarkan diriku yang udah berkumis ini. Padahal aneh juga, biasanya diriku ini gak percayaan sama tindak ucapan orang. Bahkan, ada yang bilang bahwa yang mampu melihat jeritan kaum setan hanyalah para balita. Mereka itu udah jelas punya kharisma, dan terlebih mereka juga bijaksana. Kadang sampai aku ingin mencuci otak mereka, tapi nggak tega. Terlebih, mereka suka bertanya tentang benda, dia sekarang bersamaku ingin tau tentang alat elektronik. Sialnya, diriku nggak pandai menjelaskan apapun.
Sebenarnya, diriku ini cukup cemas, mengingat para anak saat ini gak begitu pandai hukum sopan santun. Banyak maunya juga, gampang kena efek negatif pergaulan dan susah dinasehati pula. Ujungnya para orang tua dan tetangga yang susah kan? Tetapi kalau ditarik perlahan, para orang tua juga saat ini mengajarkan sikap yang aneh sih. Mau gimana lagi, kayaknya emang sejak dahulu udah begitu. Masalah seriusnya begini, hanya cukup satu anak untuk membuat satu keluarga besar terkena masalah sosial ekonomi. Nah itu dariku, tapi jangan khawatir, hidup ini tidak lain adalah ujian, jadi pasti ada kunci jawabannya, tinggal sabar aja. Atau belajar dari cerita hidup masa lalu, karena katanya bahwa hidup ini hanyalah ulangan setiap kejadian yang udah dijadikan oleh pemilik segala bentuk kejadian. Oleh karena kita ini dijadikan untuk mengerti dan meneladani tiap kejadian. Semoga nggak terjadi apa apa yang membuat kita lupa. Oleh karena awal dari salah adalah lupa dan melupa. Oh iya aku lupa, kapan aku ke Jakarta ya, moga cepat terlaksana. Sebelum tenggelam itu kota.
Kalau kembali membicarakan balita, aku jadi ingin tau apakah diriku dulu termasuk nakal atau nggak. Tetapi dari cerita orang sekitar yang saat ini udah tua, aku dulu cuma jadi bahan ketawaan orang. Dengan tampilan kepala plontos, baju kotor, dan celana robek. Dengan kondisi fisik yang mungil juga, tetapi aku jadi sanjungan dalam hal akal budi, makanya aku tetap bangga sampai saat ini. Tetapi terserah dengan itu semua, yang jelas hari raya kemarin aku nggak berkunjung ke rumah sanak kerabat atau bahkan tetangga. Rekor tersendiri untukku. Tetapi akhirnya aku berkunjung di hari ke 7. Ya kan aku ini tokoh protagonist, jadinya suka muncul di akhir adegan dong.
Jikalau emang ada penjahat, yang paling tepat memerankannya adalah si Dian Amelyadi. Ya nggak,
Komentar