Langsung ke konten utama

Jalan

     "Bagi saya, mengerjakan sesuatu yang tiada berguna, terang salah. Apa yang saya kerjakan hendaknya termakan oleh akal saya." Ujar ku bersandiwara.

     "Saya tidak mengerti apa gunanya agama yang dipakai golongan terpelajar, golongan priyayi bangsa kita sekarang." Keluh temanku yang baru menikah kemarin malam.

"Lihat sendiri di rumah Paman Parta ketika Ia selametan kemarin. Di luar berkumpul priyayi yang jempol-jempol dan perlente-perlente duduk di kursi menghadapi hidangan yang rapi dan nikmat. Dari sudut rumah masuk ke belakang beberapa orang Haji dari kampung untuk membaca doa di atas tikar." Lanjut nya.

"Patut benar Paman Parta berkata, bahwa agama itu untuk dipelajari kalau sudah pensiun, kalau tidak ada yang penting lain yang dapat dikerjakan di dunia ini. Kalau mata sudah kabur, kalau tenaga sudah habis, kalau hati sudah tertutup. Jika tidak demikian tidak serupa itu, Ia menghinakan agama yang pura-pura dipujinya itu." Tukas ku dengan semangat.

     Layar terkembang. Mengantarkan matahari yang hendak terbenam. Sungguh jalan yang tak ada ujungnya. Kalau dipikir ulang, mana ada jalan yang berujung? Jalan sendiri, adalah sesuatu yang sangat unik. Dengan jalan, segala hal bisa terlaksana. Bahkan, jalan juga punya nama. Dan sangat tidak elok jika nama orang yang udah wafat disematkan guna nama jalan. Aneh lagi saat jalan disalahkan karena mewafatkan sekian banyak orang.

     Jikalau agama adalah jalan, demikianlah yang aku cemaskan. Aku kehabisan pikiran, tentang bagaimana bentuk jalan. Jikalau umpama tidak ada jalan di dunia ini, maka akan ada banyak orang yang rusuh di tempat yang disepakati sebagai jalan menapaki tujuan perjalanan. Kala menyusuri jalan, tak boleh disurutkan oleh rasa bimbang, itulah mengapa mereka yang menyusuri jalan, layak disebut seseorang yang bukan penakut. Nampaknya, sebuah jalan telah mengajarkan dan mengajak kita untuk mewujudkan sikap berani dan yang sejenis dengan sikap tidak takut. Oleh karena dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak berani. Segala ketidakpastian ada di sekujur jalan, cobalah menebak sendiri tentang apa saja yang nanti ditemukan di sepanjang perjalanan, selesai menyusurinya, samakah dengan tebakan di awal perkiraan? Bahkan jalan mempunyai seribu satu jawaban atas segala apa yang kita pertanyakan.

Jalan memang tak layak aku pandang.

     Dibalik semua hal tentang jalan, yang menarik adalah bahwa jalan senantiasa dihantam banyak tuduhan. Sejak dahulu hingga sekarang jalan menjadi saksi atas segala baku hantam, dan sialnya si jalan lah yang katanya memicu persengketaan. Andai jalan diberi kesempatan untuk bicara, udah selesai segala persoalan. Begini saja, aku kira jalan tak usahlah dipetakan, dan apalagi pakai dikasih nama.  Oleh karena jalan adalah milik Tuhan.

Kau tau, kita menyusuri jalan, bertemu dengan pemiliknya.
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar