Langsung ke konten utama

Dua Pasang Mata yang Saling Berziarah

     Ini adalah seuntai puisi yang harum, aku temukan berserakan di pikiran orang. Oh iya aku baru sadar, plagiat adalah kejahatan terlaknat, tetapi aku juga paham, bahwa manusia adalah makhluk pemaaf yang sangat menenteramkan. Jangan sampai aku menulis sesuatu yang mana karena tulisan tersebut aku harus memohon maaf. Sayangnya aku malah lebih suka meminta maaf, lalu dimarahi oleh dia. Mana yang lebih sukar antara meminta maaf dan memaafkan? Lagipula sebagai manusia, kesalahan kita terhadap diri sendiri itu lebih banyak ketimbang kesalahan pada orang lain. Dan uniknya, berdamai dengan diri sendiri juga lebih rumit. Aku mulai mempertanyakan tentang kebenaran bahwa manusia adalah makhluk bukan individualis.  Atau cuma aku sendiri yang begini? Yang damai ya begitu.

Judulnya sangat sensitif, Dua Pasang Mata yang Saling Berziarah. Asli nya aku ingin mengklaim bahwa ini adalah puisi karya ku pribadi, tetapi dahulu Imam Ja'far Al Mansyur gak mau memberi pengayoman kepada para penyair yang karya nya cuma plagiat. Lagian kita kan dua pasang pandangan yang belum terpasang.


Aku mengayuh perjalanan
Pada jalan
yang dulu sekali mereka buat senyampang
Aku memperkenalkan pagi sebagai ucap
Agar segala pergi jadi hilang
Lantas lunas terbayarkan

Aku menggenggam janji,
seribunya kata kunci
Meringkas dekap pada dekat yang kusebut hati

Mereka mengata mati
Sedangkan kamu menghindar dari sembunyi
Peluit nahkoda berhenti di samudera yang deras
Ikan-ikan mencari jala meski hampir punah terasa

Dahulu, cerita hanya masam didengar
dengan lentera abstrak
Lantas, kita membagi dari kecil sedepa kuat mengiringi
Nada-nada sebagai bunyi-bunyi
Menghilangkan lupa diri.


     Ketika puisi berkata, "Terimakasih ya, aku akan selalu mengingatmu. Di setiap degup jantung ini, kita akan bersama-sama menjalani hidup." Apakah benar bahwa hidup itu harus dijalani?

Jangan gerak!
Diamlah!

Bertemanlah dengan kesenyapan.
Masuklah,
menyelamlah ke dalam hatimu.

Cutilah sehari
dari kebisingan.

     Hakikat manusia adalah cinta yang ada dalam hati, bukan badan. Yang kau lihat dariku hanyalah tempurung, dan yang selebihnya hanya cinta. Begitulah cinta yang sesungguhnya, tidak saling menodai melainkan memperbaiki. Tidak saling mengikat melainkan sama-sama mengikhlaskan. Komitmen itu perlu, tegas itu wajib. Namun, bersikap bijak dalam rangka melunakkan hati adalah yang paling utama.

     Jujur saja, aku ini belum begitu paham apa itu yang disebut hati. Tetapi aku juga merasakan dalam diriku bahwa ada hal lain selain akal dan indera. Dia ini sangat konsisten, selalu memberi nasehat jika aku hendak mengerjakan segala hal. Namun entah mengapa sangat sukar bagiku untuk percaya. Padahal seburuk-buruk perbuatan adalah mengabaikan kebenaran.

     Ada banyak yang punya motto hidup begini; "Siapa yang menanam, dialah yang menuai." Sedang aku belum pernah menanam apapun. Belum punya tanah yang pas untuk tanamanku yang butuh tanah khusus ini. Kalau asal tanam, pasti nanti aku menuai hasil yang gak sesuai potensi nya. Seolah aku ini menuntut kesempurnaan. Ya ampun, kenapa aku terlihat begitu jahat. Begini, aku cuma ingin hidup yang sehat. Sah sudah, aku kebanyakan baca novel romansa yang endingnya selalu bahagia. Padahal nyatanya cinta itu seperti hidup di hutan belantara. Bisalah kita menulis sesuatu yang masuk akal?

     Oh iya, ada lagi begini, bagaimana kita mempunyai perasaan dan bagaimana kita berpikir itulah diri kita yang bersifat batin. Semua dari kita boleh merasai dan berpikir, tapi belum tentu tercapai perasaan dan pikiran sebagai potensi diri. Sebenarnya, manusia itu punya potensi besar untuk tidak berbohong.

     Sebenarnya aku tadi mau membahas puisi yang entah apa maksudnya itu, berhubung bahwa puisi adalah cerminan mata dan hati maka aku gak jadi membahasnya. Mudahnya, aku gak pandai urusan puisi, kalau aku nekat maju berpuisi, habis sudah akal sehatku.

     Tidak ada puisi yang masuk akal, hanya sekedar kalimat untuk menetralkan mereka yang berakal. Puisi mungkin bukan hal yang penting untuk manusia, namun bersama puisi lah kita bisa mengenal manusia. Aku mengenal dia pun juga dari puisi, semoga aku tetap jadi pria galak dan sedikit imajinasi.

Gak berlebihan kan?
Namanya juga impian
Demi menghirup kehidupan

Di sini,
Hidup seolah menghasilkan ketiadaan
Apalagi di kala siang.

Aku ingini warna-warni hidup
Dengan uang, ilmu, atau cinta?
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar