Langsung ke konten utama

Peranan Eksistensi dan Esensi

Pancasila : Impian belaka

Edan, aku dulu nulis beginian coba! Sampai bawa-bawa Pancasila, tapi yo lucu emang kalau masalah Pancasila tuh.
Kami para introvert memiliki pandangan lain akan sesuatu. Kami keras kepala dengan itu, karena kami tahu bahwa itulah yang membuat kami bahagia.

     Beliau memiliki alasan mengapa saat aku berhenti membaca, beliau malah menulis. Tentu ini tidak absurd bagiku, pola eksistensial memang seperti ini; selalu mengerjakan apa yang tidak dikerjakan oleh sebuah esensi. Dengan demikian, manusia melalui kesadarannya sendiri, menciptakan nilai-nilainya sendiri, dan menentukan arti bagi kehidupannya sendiri. Hidup dengan seotentik mungkin adalah cara yang paling rasional dalam masa yang penuh isu esensi seperti saat ini. Pertama, aku sebagai manusia harus sadar, guna menyehatkan terlebih dahulu akal pikiran. Sedang sebuah nilai akan lahir saat aku berhasil melawan bakteri jahat dalam diri. Imunnya adalah sikapku kala mendeteksi sebuah ancaman. Merujuk pada frasa paling dijunjung para pemikir nilai kehidupan; 'kala akal dan intuisi sehat, setiap langkah kehidupannya akan berarti.' Aku bisa bilang bahwa manusia berprinsip seperti ini sebagai manusia teladan dengan sikap dan tutur kalimat yang bijak dan menyejukkan.

Satu : Tuhan urusan siapa?


     Masalah utama manusia adalah sikap dan pola pikir yang cenderung mengiyakan absurditas, memang seperti itulah hidup. Kosong dan bebas bagi apa yang ingin manusia artikan. Mencoba berpikir dan bertindak layaknya orang lain hanyalah akan menambah absurdnya hidup kita. Menjelaskan kepada manusia arti sebuah esensi hanya akan merusak kejernihan pikirannya. Berjuang tanpa lelah menghadapi absurditas memang membosankan, dan aku kadang sedikit senang. Ada sesuatu yang memaksaku untuk terus bertahan hidup, tidaklah lain hanyalah mencoba lebih pada kurangnya sarana untuk memupus absurditas. Katakan saja bahwa manusia yang berjuang untuk bertahan hidup dan menelurkan nilai dalam hidup adalah pahlawan. Walau pada akhirnya akan menghadapi esensi utamanya yaitu hilang dari eksistensi hidup yang absurd. Oleh karena absurditas adalah keniscayaan dalam hidup, maka aku memiliki alasan untuk tetap eksis. Jangan biarkan absurditas membuat kita kehilangan makna dalam hidup. Ya ampun tulisanku ora jelas bener ngene iki to, payah tenan masa muda.

Dua : Semua manusia adalah biadab : tobat!

     Kita ini eksis karena tumpukan makna hidup masa lalu. Dan dengan itu aku dinilai seperti ini oleh manusia yang memang makhluk pengamat dan lingkungan yang bertugas mendoktrin. Cuma kita sendiri yang mampu meluruskan dan membenamkan apa yang sekiranya layak. Walau pada akhirnya cuma kita sendiri yang mau mengakuinya. Manusia akan selalu menilai kita dari perspektif masa lalu, sedang masa kita saat ini cenderung dinilai sebagai perbandingan saja. Lalu bagaimana dengan masa depan, tidak perlu aku pikir karena saat ini aku tengah bertarung dengan doktrin masa lalu. Tindakan dan pola pikir kita akan selalu terkontaminasi oleh masa lalu, itulah pentingnya menyadari bahwa masa lalu hanyalah esensi yang layak dikorbankan. Meminjam kalimat para pemimpin dunia; 'pentingnya menghapus sejarah kelam, karena keputusan selalu berdasar pada sejarah bangsa.' Terkesan kejam dan berbau pengkhianatan? Nggak juga, kan? Apa iya sih.

Tiga : Bersatu kalau sependapat

     Pada tema masa depan, yang aku temui cuma kegelisahan. Masa depan menggodaku, masa lalu memeluk hangat diriku, sedang diriku saat ini diinterogasi kejam oleh absurditas. Pernyataan bahwa saat ini aku belum layak dan belum mampu, membuat aku semakin yakin akan kekosongan masa depan. Aku tinggal siapkan apa yang mesti aku isikan pada kekosongan tersebut. Lalu, aku taruh di mana peran esensi? Ada yang bilang bahwa eksistensi harus berjalan di depan esensi. Karena memang seorang pemimpin perang selalu di markas pengendalian, maka esensi juga akan ikut andil terhadap seluruh kemungkinan sebuah eksistensial.

Empat : Aku ingin maju sendiri tanpa wakil

Sebenarnya, aku ini tersusun oleh eksistensi atau esensi?

Lima : Nggak ada keadilan, adanya sesuai porsi

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar