Langsung ke konten utama

Dreams karya Henri Bergson

Kami para introvert memiliki pandangan lain akan sesuatu. Kami keras kepala dengan itu, karena kami tahu bahwa itulah yang membuat kami bahagia.

     Ada banyak pilihan bagiku untuk mengulas masalah buku. Kali ini aku ingin mencoba kembali karya monumental prof. Henri Bergson. Orang-orang Eropa memang memiliki rasa penasaran super tinggi, hal sepele menurut kita, malah dianggap sesuatu yang layak dikaji. Mungkin aku kira karena bangsa eropa terlalu banyak membaca dan lingkungan yang menampilkan sesuatu yang menggelitik akal mereka. Otak, akal, dan pikiran... itu satu kesatuan yang memiliki peran fungsi tersendiri. Aku kira bangsa Indonesia masih berotak, dan kadang-kadang berakal. Tapi untuk pikiran? Mayoritas bilang; 'hidup itu di bawa santai aja, bro...'

     Untuk menelurkan pemikiran tertentu, aku harus tau dulu bahwa aku belum tau. Dengan posisi seperti itu, aku secara psikologis akan memaksa si akal untuk bangun dari tidur nyamannya. Aku malah membahas masalah ini coba... padahal ini tak ada hubungannya dengan buku karya Henri Bergson ini, tapi aku kira ada lho pengaruhnya. Tapi, entah apa? Aku cuma merasakan ada pengaruhnya begitu. Nah, terserah... aku ketularan gen bangsaku, harus diakui bahwa lingkungan adalah faktor paling kuat dalam pembentukan pola pikir manusia. Walau aku sering mencoba melawan, hasilnya belum sesuai ekspektasi pikiran. Nanti aku coba lagi lah...

Aku kasih gambar uang supaya nanti malam bisa bermimpi tentang uang. Seberapa kuat pengaruh uang? Aku ingin tau...


     Apakah ini saja sudah cukup? Begitu kata Bergson, nah... aku coba terjemahkan saja lah, supaya lebih jelas dan terkesan mengena. Ternyata... masih mempertimbangkan sensasi penglihatan, kita harus menambahkan sensasi visual yang kita sebut internal semua yang terus datang kepada kita dari sumber eksternal. Nah, dari sini aku bisa tau bahwa apa yang kita dapat dari lingkungan sekitar akan secara otomatis memengaruhi kondisi internal diriku. Aku sendiri percaya, tapi anehnya... kenapa internalku tak mempu menggoyahkan eksternal? Apa karena aku dibentuk oleh eksternal? Aku kira tidak sepenuhnya begitu. Aku campur aduk kalimatku dengan kalimat Bergson, supaya tidak ada kesan eksternal-internal. Nggak melanggar aturan kan? Kalau melanggar ya terserah.

      Mata, ketika tertutup, masih membedakan cahaya dari bayangan, dan bahkan, sampai batas tertentu, lampu berbeda satu sama lain.  Ya, aku baru mencobanya, prof! Memang mata masih menjunjung fungsi utamanya yaitu indera kefokusan. Nggak bisa bagi mata membohongi diriku. Jadi, si akal yang mendapat laporan dari mata, lalu si akal yang melakukan konspirasi. Itu aku rasa penyebab diriku salah dalam memilih sesuatu yang bahkan bisa aku lihat sendiri. Sensasi cahaya ini, yang berasal dari luar, berada di dasar banyak mimpi kita. Sebuah lilin yang menyala secara tiba-tiba di dalam ruangan akan, misalnya, menyarankan kepada orang yang tidur, jika tidurnya tidak terlalu dalam, sebuah mimpi yang didominasi oleh gambar api, gagasan sebuah bangunan yang terbakar. Nah... jika begitu aku baru tau, mengapa tidur siang itu mimpinya cenderung aneh... maksudku begini, aku kalau tidur siang rasanya masih bisa melihat ataupun mendengar sesuatu yang eksternal. Jadi, mimpinya pun tak jauh dari apa yang disuguhkan eksternal, tapi tidurku lumayan nyenyak, seolah ada pendongeng di dekatku. Kalau masalah tidur di malam hari, murni internal yang kadang aku rasa ada kaitan dengan apa yang baru aku kerjakan sebelum tidur. Terbawa mimpi, bahasa sederhananya.

      Ijinkan saya mengutip dua pengamatan M. Tissie tentang hal ini:

"B-- Leon bermimpi bahwa teater Alexandria terbakar; nyala api menerangi seluruh tempat. Tiba-tiba dia menemukan dirinya diangkut ke tengah-tengah air mancur di lapangan umum; garis api membentang di sepanjang rantai yang menghubungkan pos-pos besar yang di tempatkan di sekitar tepi. Kemudian dia menemukan dirinya di Paris di pameran, yang terbakar. Dia mengambil bagian dalam adegan yang mengerikan, dll. Dia bangun dengan kaget, matanya menangkap sinar cahaya yang diproyeksikan oleh lentera gelap yang dilintaskan oleh perawat malam ke tempat tidurnya. Nah... ini uji coba pertama. Sangat masuk akal bahwa mimpi ternyata terpengaruh oleh eksternal, apakah aku masih terhubung dengan dunia nyata saat aku tidur? Tepatnya, faktor eksternal bisa memengaruhi kondisi tidur kita. Tapi, ini masalah cahaya. Dan aku rasa bukan hanya faktor mata yang tajam terhadap cahaya, tetapi seluruh indera kita mampu mempengaruhi mimpi. Contoh aku pernah juga disentuh seseorang saat tidur, secara aneh sentuhan itu masuk dan terasa dalam mimpi, beda cerita kalau sentuhannya agresif, tentu langsung kaget bangun, seperti bagaimana mata merespon cahaya dengan sangat jelas. Dan silahkan yang mau menguji seberapa unik fenomena mimpi. Aku lanjut pada contoh kedua;

M-- Bertrand bermimpi bahwa dia berada di infanteri laut tempat dia sebelumnya bertugas. Dia pergi ke Fort de France, ke Toulon, ke Lorient, ke Crimea, ke Konstantinopel. Dia melihat kilat, dia mendengar guntur, dia mengambil bagian dalam pertempuran di mana dia melihat api melompat dari mulut meriam. Dia bangun dengan kaget. Seperti B, ia terbangun oleh kilatan cahaya yang diproyeksikan dari lentera gelap oleh perawat malam. Seperti itulah seringnya mimpi yang dipicu oleh cahaya terang dan tiba-tiba. Sangat berbeda dengan proyeksi cahaya yang ringan dan terus-menerus seperti cahaya bulan. Ini gimana ya... mungkin karena sinar bulan itu universal, jadi mata tak begitu bisa merespon cahaya yang tidak superior. Aku artikan secara naluri kemalasanku. Ya maksudku kan begini... api itukan memiliki cahaya yang kuat, dan sifatnya seperti temperamental atau yang sejenis, tentu mimpinya akan sadis dan bergenre action. Bulan kan kata penyair; 'melambangkan kedamaian' , dan masuk akal jika cahaya bulan juga sangat teduh kala direspon mata, cobalah pandang matahari, pasti beda.

     Atau aku malah ingin pandang gadis di gambar ini? Bukannya si gadis itu yang memandangku? Bukan aku kan? Dia yang salah! Aku mah cuma ikut apa kata mata.... nggak salah?


       Dan berikut ada contoh lain: A. Krauss menceritakan bagaimana suatu hari pada saat terbangun dia merasa bahwa dia mengulurkan lengannya menuju apa yang tampak dalam mimpinya, baginya terlihat sebagai seorang gadis muda. Sedikit demi sedikit gambar gadis ini melebur ke bulan purnama yang memancarkan sinarnya ke arahnya. Adalah hal yang aneh bahwa seseorang dapat mengutip contoh lain dari mimpi di mana sinar bulan membelai mata orang yang tidur, menggambarkan di dalam mimpinya seorang gadis muda. Tidak bisakah kita mengira bahwa hal itu mungkin merupakan asal mula dari dongeng Endymion - sang gembala, tidur nyenyak, untuk siapa dewi Selene, yaitu, bulan, dipukul dengan cinta saat ia tidur? Ini contoh mimpi yang berhubungan dengan bulan. Aku kira, bulan memang miliki aura khayalan tingkat tinggi. Para pengkhayal selalu memandang bulan supaya khayalannya tambah nikmat. Ini bukan berarti pengalamanku sebagai manusia pengkhayal, tapi memang aku suka berimajinasi, apalagi dengan memandang pelangi, ya bulan saja kalau pelangi nggak ada. Di bulan itu kata orang Jepang; tempat asal muasal Putri Kaguya yang cantik dan misterius itu lho...

       Aku kembali lagi pada pembahasan Dreams: Saya telah berbicara tentang sensasi visual. Mereka yang utama. Namun sensasi pendengaran juga memainkan peran. Pertama, telinga juga memiliki sensasi internal, sensasi berdengung, gemerincing, bersiul, sulit diisolasi dan dipahami saat bangun, tetapi yang jelas dibedakan dalam tidur.

     Nah... itu argumen terakhir beliau. Aku sudahi dulu karena cukup pening juga. Lagipula aku ini cukup rasional, dan kalau disuruh memahami konteks beginian ya lumayan membuatku mendapat belas kasihan. Itu alasan utama aku membahas buku Dreams ini, supaya pikiranku tambah tidak ngawur. Ini aja dalam membahas masih sering menikmati kalimat halusinasi, tapi nikmat lho saat bisa membuat diriku terkesan di tekan oleh kalimat yang macam begini. Entah gimana besok, paling ideal ya bangun dengan akal tertekan, hingga malas beraktivitas.

Konsekuensinya!

The Introvert, Ridwan
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar