Kami para introvert memiliki pandangan lain akan sesuatu. Kami keras kepala dengan itu, karena kami tahu bahwa itulah yang membuat kami bahagia.
Henri Bergson dan mimpi : Klop
Siang ini, cuaca sangat sejuk. Walau ini adalah musim kemarau, bukan berarti sang awan tak mau menunjukkan ketenangannya. Pendeknya, coba saja Engkau turunkan hujan, dan kami tak akan melawan. Memang, akhir tahun adalah masa di mana awan sangat galak dengan petir dan tangisannya. Tetapi aku tau bahwa Engkau marah oleh karena peduli pada kami. Aku malah takut saat Engkau abaikan kami. Imajinasiku hari ini sedetik pun tak pernah keruh, oleh karena semua kesejukan yang telah Engkau anugerahkan. Itulah alasan kuat yang membuat diriku bangun dan segera menyambut larikan bait puisi. Terlalu lama aku menunggu suasana seperti ini. Oleh karena diriku yang sangat mengandalkan sebuah inspirasi, aku membutuhkan sebuah masa di mana hanya aku yang ada.
Supersemar itu : Kalah untuk Menang
Siang ini, aku akan menyusun sebuah puisi yang aku rasa sangat panjang. Aku ingin terus berdekapan dengan kata-kata cantik tanpa majas, oleh karena sebuah kesibukan, inspirasi makin hilang terpendam. Sekalinya memancar, tak sedetik pun aku jenuh, akan aku tangkap dan aku nikmati setiap satuan cahayanya. Begini maksudku, aku cuma mengkhayal. Sangat loyal hingga tak ada yang tak aku ijinkan masuk memenuhi kerangka inspirasiku. Puisi bukanlah sekedar susunan bait yang berima indah, tapi juga bukan tumpukan barisan sampah. Dia lahir oleh perasaan yang ingin hadir, pikiran yang senantiasa memberikan ide, dan hati yang senantiasa menyetujui. Biarkanlah barisan menyusun bait dengan lancar, memasukkan kata yang nakal hanya membuat puisi menjadi hambar.
Bung Hatta adalah : Esensi Pikiran
Tegar, ini bukan nama orang. Tapi lebih pada sifat yang mendasari penyusunan sebuah puisi. Semua master penyair akan merasakan setiap goresan penanya, oleh karena puisi sangat berbeda dengan prosa. Ada yang bilang sama, mungkin mereka belum merasakan bagaimana perbedaan mendasar antara menuangkan cerita dan menceritakan sesuatu. Sudah lah terserah... aku hanya ingin menulis puisi saat ini, tak ada niat membahas prinsip dan penafsiran. Dan berikut adalah puisi dariku, di kala siang musim kemarau yang sejuk. Biasanya panas menggelegar.
Tak ada yang abadi!
pastilah berubah,
Tanpa diriku ini?
Sayangku, kau pasti lelah.
Cobalah!
Yang ku tau, kau gagah.
Coba pandang!
kau lewati banyak jurang
Kemenangan selalu kau pegang
Untukku? Tak ada kesempatan!
Kau yang sekarang,
Si raja hutan!
terbaring di ranjang
Ingin aku nikmati
tak ada hati?
usahlah aku usik lagi
Kau santap saja sendiri
Hidangan sosial sebelum mati
Tak ada yang abadi
Perihal luka? Aku sudah sembuh
Perihal tirani? Aku kini tumbuh
Perihal kecewa? Aku sungguh bahagia.
Tak ada yang abadi
Secepat ini? Aku berjuang hampir mati!
Berbenah sejak dini
Tak ada yang abadi
Menyerap cahaya matamu,
Kenapa tak sedari dulu
Tak usah tanya padaku
Lemah dan lelahnya menunggu
Cuma untuk tahta baru
rela menghinakanmu
Taulah siapa duduk di atasmu
Aku?!
Ingatan luka menganga
Tak ada rasa kecewa
Saatnya aku membabi buta
Kala kau dimakan usia
Aku ingin terus tertawa
nikmati nyanyian luka
Tak ada yang abadi
Aku yang bertahta
Ku hormati kau, kala senja
tak akan kau bertanya
Aku yang bertahta!
Saat nanti tiba, aku diam
Nikmati kau tenggelam
Semua, aku yang mengganti
Menyinari yang aku tau tak abadi.
Tamat : Diam dan berkhianat
Hah... itulah puisi rasa ambisi yang setiap kali aku nikmati, perih tak ada yang tersakiti. Untung aku ini orang yang cukup kental akan sebuah kekalahan. Bahkan sampai detik ini, tak ada niatan memuji. Aku akan senantiasa bersua dengan sang penguasa aku punya rasa. Tak boleh ada orang yang mengganggu, atau terpaksa aku teriak dirimu. Sebut aku; anak si raja hutan yang lama terkurung belaian. Sekalinya aku terlepas, sifat ganas akan mencabik tanpa rasa puas, hingga sang raja hutan ikut turun dan memelas. Walau masih kontras, mataku ini tajam dan berkelas. Tak ada cakaranku yang tak membuat belas, dan akhirnya aku sebelas dua belas dengan mereka yang mengagungkan tingkatan ras. Sungguh tak pantas.
Pelangi dan Bidadari : Hujan gerimis
Sudahlah. Ini hanya tentang diriku dan musuh bebuyutan yang paling aku ingin tundukkan, aku dijinakkan untuk sebuah kepentingan. Aku menunggu taring kekuasaanku tumbuh memanjang. Tanpa belas kasihan, aku tancapkan di urat lehernya, guna menghisap habis darah aryanya. Hingga pada akhirnya, kau akan berkata; 'Mulai sekarang, kau yang bertahta!'
The Introvert
Henri Bergson dan mimpi : Klop
Siang ini, cuaca sangat sejuk. Walau ini adalah musim kemarau, bukan berarti sang awan tak mau menunjukkan ketenangannya. Pendeknya, coba saja Engkau turunkan hujan, dan kami tak akan melawan. Memang, akhir tahun adalah masa di mana awan sangat galak dengan petir dan tangisannya. Tetapi aku tau bahwa Engkau marah oleh karena peduli pada kami. Aku malah takut saat Engkau abaikan kami. Imajinasiku hari ini sedetik pun tak pernah keruh, oleh karena semua kesejukan yang telah Engkau anugerahkan. Itulah alasan kuat yang membuat diriku bangun dan segera menyambut larikan bait puisi. Terlalu lama aku menunggu suasana seperti ini. Oleh karena diriku yang sangat mengandalkan sebuah inspirasi, aku membutuhkan sebuah masa di mana hanya aku yang ada.
Supersemar itu : Kalah untuk Menang
Siang ini, aku akan menyusun sebuah puisi yang aku rasa sangat panjang. Aku ingin terus berdekapan dengan kata-kata cantik tanpa majas, oleh karena sebuah kesibukan, inspirasi makin hilang terpendam. Sekalinya memancar, tak sedetik pun aku jenuh, akan aku tangkap dan aku nikmati setiap satuan cahayanya. Begini maksudku, aku cuma mengkhayal. Sangat loyal hingga tak ada yang tak aku ijinkan masuk memenuhi kerangka inspirasiku. Puisi bukanlah sekedar susunan bait yang berima indah, tapi juga bukan tumpukan barisan sampah. Dia lahir oleh perasaan yang ingin hadir, pikiran yang senantiasa memberikan ide, dan hati yang senantiasa menyetujui. Biarkanlah barisan menyusun bait dengan lancar, memasukkan kata yang nakal hanya membuat puisi menjadi hambar.
Bung Hatta adalah : Esensi Pikiran
Tegar, ini bukan nama orang. Tapi lebih pada sifat yang mendasari penyusunan sebuah puisi. Semua master penyair akan merasakan setiap goresan penanya, oleh karena puisi sangat berbeda dengan prosa. Ada yang bilang sama, mungkin mereka belum merasakan bagaimana perbedaan mendasar antara menuangkan cerita dan menceritakan sesuatu. Sudah lah terserah... aku hanya ingin menulis puisi saat ini, tak ada niat membahas prinsip dan penafsiran. Dan berikut adalah puisi dariku, di kala siang musim kemarau yang sejuk. Biasanya panas menggelegar.

Tak ada yang abadi!
pastilah berubah,
Tanpa diriku ini?
Sayangku, kau pasti lelah.
Cobalah!
Yang ku tau, kau gagah.
Coba pandang!
kau lewati banyak jurang
Kemenangan selalu kau pegang
Untukku? Tak ada kesempatan!
Kau yang sekarang,
Si raja hutan!
terbaring di ranjang
Ingin aku nikmati
tak ada hati?
usahlah aku usik lagi
Kau santap saja sendiri
Hidangan sosial sebelum mati
Tak ada yang abadi
Perihal luka? Aku sudah sembuh
Perihal tirani? Aku kini tumbuh
Perihal kecewa? Aku sungguh bahagia.
Tak ada yang abadi
Secepat ini? Aku berjuang hampir mati!
Berbenah sejak dini
Tak ada yang abadi
Menyerap cahaya matamu,
Kenapa tak sedari dulu
Tak usah tanya padaku
Lemah dan lelahnya menunggu
Cuma untuk tahta baru
rela menghinakanmu
Taulah siapa duduk di atasmu
Aku?!
Ingatan luka menganga
Tak ada rasa kecewa
Saatnya aku membabi buta
Kala kau dimakan usia
Aku ingin terus tertawa
nikmati nyanyian luka
Tak ada yang abadi
Aku yang bertahta
Ku hormati kau, kala senja
tak akan kau bertanya
Aku yang bertahta!
Saat nanti tiba, aku diam
Nikmati kau tenggelam
Semua, aku yang mengganti
Menyinari yang aku tau tak abadi.
Tamat : Diam dan berkhianat
Hah... itulah puisi rasa ambisi yang setiap kali aku nikmati, perih tak ada yang tersakiti. Untung aku ini orang yang cukup kental akan sebuah kekalahan. Bahkan sampai detik ini, tak ada niatan memuji. Aku akan senantiasa bersua dengan sang penguasa aku punya rasa. Tak boleh ada orang yang mengganggu, atau terpaksa aku teriak dirimu. Sebut aku; anak si raja hutan yang lama terkurung belaian. Sekalinya aku terlepas, sifat ganas akan mencabik tanpa rasa puas, hingga sang raja hutan ikut turun dan memelas. Walau masih kontras, mataku ini tajam dan berkelas. Tak ada cakaranku yang tak membuat belas, dan akhirnya aku sebelas dua belas dengan mereka yang mengagungkan tingkatan ras. Sungguh tak pantas.
Pelangi dan Bidadari : Hujan gerimis

Sudahlah. Ini hanya tentang diriku dan musuh bebuyutan yang paling aku ingin tundukkan, aku dijinakkan untuk sebuah kepentingan. Aku menunggu taring kekuasaanku tumbuh memanjang. Tanpa belas kasihan, aku tancapkan di urat lehernya, guna menghisap habis darah aryanya. Hingga pada akhirnya, kau akan berkata; 'Mulai sekarang, kau yang bertahta!'
The Introvert
Komentar