Langsung ke konten utama

kalah, menang, dan Ngalah

Bukanlah apa kata manusia yang kuikuti, tetapi pandangan Allah Tuhanku yang kutakuti, ketidakadilan yang ditimpakan oleh manusia, bukan alasan bagiku untuk membalasnya, asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku”
(lirik lagu Sayang Padaku oleh Novia Kolopaking)

Kalau aku teruskan, mantep itu lirik dari mbak Novia, pelajaran tertinggi dari hakekat hidup. Bersamaan dengan itu, seolah bahwa semua yang terjadi adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Kenapa aku tulis seolah? Itu tadi aku salah, sebenarnya hidup itu selalu bahagia dan indah, cuma kita saja yang belum punya pengalaman dalam menyikapi segala hal yang terjadi. Sebenarnya bukan yang terjadi, tapi semua hal yang dijadikan. Sedang kita jarang menilai positif sesuatu yang dijadikan, karena bukan kita yang menjadikan. Padahal kita ini ya makhluk jadi-jadian aslinya. Aneh kan...

Memahami dan dipahami, awal kegelisahan dan membutuhkan pemikiran panjang untuk memunculkan sikap terbaik dalam menghadapi segala hal. Kehidupan terkadang memberikan persepsi yang berbeda dalam setiap keputusan. Oleh karenanya, beberapa pertanyaan bergumul memberondong seperti; Kapan batas kalah? Kapankah batas waktu untuk ngalah? Sampai kapankah Ngalah? Apakah Ngalah sama dengan pasrah? Lalu apakah antara kalah dan Ngalah? Pokoknya yang sejenis itulah, kalau aku juga malah sering Ngalah, masalahnya kalau aku serius, aku selalu kalah, jadi aku milih Ngalah supaya terlihat elegan gitu.

Lagi ngapain ini orang, nggak jelas gini. Siapa fotografer nya ini? Bagaimana dia memandang seni? Mari ke sini aku ajari. Walau kalau aku amati, aku lumayan takjub dengan seberapa rata tanah raya di situ.


Ngalah dan kalah. Dua kata tersebut yang sekonyong-konyong menyusup ke dalam sela-sela serabut sel saraf yang terhimpun di dalam ruang kepala ketika tengah malam terbangun karena tidur kesorean. Dua istilah itu memiliki kesamaan karena sering digunakan kepada siapa saja yang setelah bertanding atau berlomba tidak memperoleh kemenangan atau tidak menjadi juara. Jadi, yang menang tadi disebut beruntung atau apa?
Tetapi seperti biasanya, bukan kesamaan itu yang menyulut serabut-serabut saraf otakku menyala menggetarkan seluruh isi kepala. Antara “Ng” pada istilah Ngalah dan “k” pada istilah kalah yang menjadi fokus konsentrasi. Dan bukan ketidaksengajaan kalau selalu kugunakan awalan huruf kecil untuk istilah “kalah” dan awalan huruf besar untuk istilah “Ngalah”, karena aku butuh pengingat agar konsentrasi tetap terfokus. Kelak nanti semuanya akan tahu mengapa “seharusnya” ditulis seperti itu. Alhasil, ini masalah rahasia yang masih tersimpan rapi di gua kidul.
Ketika hari ini memilih untuk tetap hidup niscaya akan berhadapan dengan lawan-lawan kehidupan, karena hari ini yang terjadi tidak selalu sesuai dengan rencana dan yang diangankan, apalagi hari esok. Tetapi hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak membuat perencanaan. Bagaimanapun usaha terbaik yang bisa dilakukan hingga saat ini untuk mengurangi frekuensi pertandingan atau perlombaan dalam menjalani proses kehidupan adalah membuat perencanaan. Itulah aku yang selalu mengasah insting ilmu masa lalu, karena masalah dan kunci hidup itu ada polanya, walau nggak selalu identik, setidaknya sedikit berguna supaya nanti nggak terlalu kaget dengan yang terjadi. Padahal bagaimanapun ya tetap kaget.
Ketika memasuki gelanggang kehidupan, mau tidak mau, suka tidak suka, aku akan bertanding, berlomba agar tidak menjadi pecundang karena bagaimanapun seluruh sel tubuhku akan lebih senang kalau aku menjadi pemenang-seandainya hidup semudah itu untuk menentukan pilihan nasib ;-). Dibutuhkan visi, misi, strategi, target, tujuan yang jelas agar bisa meraih kemenangan. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa lawan yang ingin aku taklukkan juga punya perencanaan dan persiapan latihan yang nggak kalah matang. Namanya juga bertanding, makanya kadang dan seringnya aku Ngalah saja lah.
Identifikasi lawan, itu yang pertama harus dilakukan agar tujuan tercapai. Ketika memasuki gelanggang kehidupan, setidaknya ada dua lawan yang akan kuhadapi, yang pertama adalah diriku sendiri, yang kedua adalah yang diluar diriku, tetapi yang jelas bukan dirimu. Karena sehebat apapun dirimu melawanku, tetaplah tidak akan bisa dirimu mengalahkanku karena aku tidak pernah menganggapmu sebagai lawan, yang itu berarti aku tidak pernah bertanding denganmu.
Menang, kalah, itu dua pasangan hadiah yang akan didapatkan oleh siapapun yang memutuskan turun ke gelanggang untuk bertanding. Siapapun tidak ada yang mau kalah. Ada juga pesan titipan orang tercinta yang inginnya kita harus menang, enak bener mereka kan. Tapi ya itu nasib manis para petarung kehidupan. Mengetahui siapa diri, menghargai menyanjung lawan diri, dan membagi sayang pada lingkungan. Tetapi anehnya itu tidak berbanding terbalik dengan kemenangan. Ternyata tidak semuanya menginginkan kemenangan. Ada segelintir orang yang tidak puas dengan berhenti pada level menang.  “Ada yang lebih memuaskan hati dari sekedar menang” begitulah kira-kira nuraninya berbisik pada naluri kepuasannya. Menang itu mengalahkan, sedang aku bertarung bukan untuk mengalahkan. Sekedar ya begitulah pokoknya.
Nurani pun mulai menjelaskan, “sebaiknya mulailah mengartikan setiap kata secara detail teliti agar bisa memahami makna yang tersembunyi dibalik megahnya kata-kata itu”. Dan hari ini marilah meneliti kata menang.
Ketika keputusan hari ini adalah berusaha meraih kemenangan maka akan ada 2 kemungkinan. Pertama, meraih kemenangan dengan memberi kekalahan pada lawan-lawanmu. Yang kedua meraih kemenangan tanpa memberi kekalahan pada lawan-lawanmu. Bagi seluruh makhluk di dunia, kemungkinan pertama yang banyak terpikirkan dan dijalankan. Hanya sedikit makhluk bumi yang berpikir kemungkinan kedua. Di daratan Nusantara, terdapat sebuah bidang bernama Jawa yang memunculkan istilah “Menang tanpo Ngasorake” yang kurang lebih maknanya adalah menang tanpa membuat lawan merasa kalah atau rendah. Juga ada istilah “Menang menjadi arang, kalah menjadi abu” merujuk pada situasi dimana seseorang mengalami kekalahan yang benar-benar kalah, apapun yang ia peroleh dalam pertandingan itu. Mungkin di tataran inilah orang-orang yang memiliki pemikiran tentang kemungkinan kedua dari makna meraih kemenangan. Apa itu menang? Apakah sama dengan kemenangan?
Secara naluriah, semua orang selalu lebih senang berada dalam situasi kemenangan daripada kekalahan. Semua orang tidak ingin berlama-lama dalam kondisi kalah tetapi ingin berlama-lama didalam kondisi menang. Sehingga jelas dibutuhkan pertandingan-pertandingan secara kontinyu agar  bisa memberi batas pada kekalahan. Artinya kalah haruslah dibuatkan batas-batas sesempit mungkin, sesingkat mungkin agar segera memasuki wilayah kenikmatan menang. Yang perlu pemikiran dan usaha adalah bagaimana memperluas dan memperlama batas-batas wilayah menang agar kita tidak lekas kembali masuk ke wilayah kalah. Karena bagaimanapun menang kalah adalah pasangan sejoli yang selalu mengiringi perjalanan hidup manusia. Mereka berdua menikah jauh sebelum kita ada, maharnya ya kita ini. Jadi, kita ini mas kawin yang dianugerahkan si menang pada mbak kalah, dan kita sampai saat ini belum disentuh oleh nyonya kalah. Ya begitulah alkisahnya.
Nyaris tidak mungkin setelah berada di wilayah menang kita tidak masuk lagi ke wilayah kalah karena itu sebuah siklus. Sehebat apapun kita mempercepat waktu berada di wilayah kekalahan dan memperlama waktu di wilayah kemenangan, tetaplah kita akan merasakan kekalahan. Satu-satunya strategi adalah kita tidak akan menghindari kekalahan itu tetapi menghindari dikalahkan oleh makhluk-makhluk selevel kita atau di bawah kita. Apabila yang mengalahkan kita memang lebih tinggi, lebih agung dari kita, maka itu tidak akan menyakitkan bahkan itu hal yang teramat membahagiakan. Makanya aku lebih suka melawan yang lebih hebat dariku, tapi ya kadang ribet juga, yang levelnya di bawahku juga sering nantang. Kalau aku meladeni, kasihan dianya, tapi ya dia ngeyel terus kalau nggak aku ladeni. Kan rumit.
Pada akhirnya, kita membutuhkan satu istilah yang memiliki makna kita sedang berada pada batas akhir atau puncak dari wilayah menang untuk kembali masuk ke wilayah kalah sesuai hukum alam manusia yang senantiasa bersiklus. Proses peristiwa itu semoga terwakili pada istilah Ngalah. Ya, Ngalah atau kadang-kadang disamarkan dengan Mengalah. Sekilas itu seperti mewakili kata kalah tetapi sesungguhnya terletak 180 derajat pada kutub yang berseberangan. Kalah berada pada posisi sebelum menang, sedangkan Ngalah berada pada posisi setelah menang. Tidak diperlukan usaha keras untuk mendapatkan kalah. Kita butuh usaha keras untuk mendapatkan menang. Tetapi dibutuhkan usaha ultra keras untuk kita bisa Ngalah.
Bagaimanapun kita tidak akan berani dan memang tidak akan bisa Ngalah sebelum kita mengkalahkan lawan-lawan selevel ataupun level yang lebih rendah baik lawan yang didalam diri maupun diluar diri. Kita harus memberi batas pada kalah, kita harus selalu menang, kita harus tidak terkalahkan agar bisa memasuki wilayah Ngalah tanpa keraguan. Apabila hari ini kita bisa Ngalah tanpa semua proses itu, hampir dapat dipastikan kita sedang mendapat hadiah, hidayah yang luar biasa nikmatnya.
Dan apabila sudah berada pada wilayah Ngalah, yang perlu dilakukan adalah bertahan sekuat hati, pikiran, tenaga agar tetap berada di wilayah itu, karena memang tidak ada wilayah yang lebih tinggi lagi dari wilayah Ngalah. Kita berusaha bertahan di wilayah ini bukan untuk mencapai wilayah yang lebih tinggi tetapi supaya kita tidak lagi turun masuk wilayah menang apalagi sampai melorot masuk wilayah kalah. Kecelakaan besarlah kalau itu sampai terjadi. Sedang hidup terus bersiklus, teruslah bersimpuh sampai nanti kita lulus.
Dengan kata lain, kalah adalah kita sungguh-sungguh tidak mendapat kemenangan karena belum berhasil memasuki wilayah menang, sedangkan Ngalah adalah kita seolah-olah tidak mendapat kemenangan tetapi faktanya kita sudah memperoleh semua kemenangan baik itu karena usaha super keras ataupun hidayah, yang merupakan bekal untuk mendapatkan nikmatnya Ngalah.

Demikianlah sekelumit cerita pertemanan antara kalah, menang dan Ngalah, semoga semakin mengenalnya. Oh ya, sedikit menjawab pertanyaan tentang “apakah antara kalah dan Ngalah? Jawabnya, “menang” ada ditengah-tengah antara kalah dan Ngalah. 100% pilihan ada pada kita, mau jadi manusia level bawah (manusia kalah), level medioker (manusia menang) atau level atas (manusia Ngalah). Kalau aku masih di level bawah, belum berani naik gelanggang. Masih latih berlatih.
Pertanyaan selanjutnya adalah tentang “kalaupun harus kalah, janganlah kalah dari makhluk selevel manusia atau bawahnya”. Siapa yang lebih tinggi dari manusia? Tumbuhan? Binatang? Malaikat? Iblis? Angin? Air? Bukan, jawabannya bukan mereka. Mereka tidak lebih rendah dari manusia, tetapi tidak juga lebih tinggi. Yang jelas mereka tidak punya pilihan dalam hidupnya. Sampai masanya, tumbuhan tidak berjalan, binatang tidak memiliki ide nyeleneh, malaikat tidak berprasangka buruk, iblis pun tidak mempunyai pilihan untuk menjadi baik di hadapan manusia.
Maka satu-satunya Pihak di atas manusia sebagai Khalifah di bumi adalah Dzat diluar realita logika kehidupan manusia yang sering dipanggil dengan sebutan Tuhan. Ya, tidak ada masalah, bahkan menyenangkan kalau yang mengalahkan kita adalah Tuhan.  Asal jangan kalah oleh Malaikat apalagi Iblis terlebih lagi binatang dan tumbuhan serta alam dalam urusan berlomba, berpacu menuju “Cahaya” sejati.

Seperti itulah siklus hidup. Bagaimanapun, kita ini manusia, pengayom bagi seluruh teman seperjuangan di muka bumi. Dan cuma kita saja yang dianugerahi bibit Ngalah oleh Tuhan. Selain kita, semua ingin menang. Pernahkan kita melihat benalu mengalah pada pohon jambu air? Walau begitu jangan memandang rendah pola hidup kawan seperjuangan kita itu, mereka begitu karena udah ya gitu kerjanya. Pasti ada maksud tertentu, kita saja yang kadang nggak paham. Mengapa ayam kita sembelih dan panggang, kenapa tidak kita saja yang mengorbankan diri pada bangsa ayam? Nggak selesai kalau aku teruskan ini, udah itu saja lah.

The Introvert
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar