Langsung ke konten utama

Menyumbangkan Kepribadian

      Semalam begitu mencekam, dari sejak jam 20 hingga jam 23 diriku ngobrol dengan sesepuh yang sangat menyanjung pemerintahan pak Harto. Kata dia, hanya orang yang gak bisa merasakan sajalah yang selalu mengolok-olok pak Harto, sebenarnya kata dia lagi, pak Harto itu bukan tbapa alasan dalam menentukan setiap kebijakannya. Segalanya tersusun rapi dan sesuai dengan apa yang diwanti-wantikan sama leluhur Jawa dahulu kala. Itulah mengapa diriku tertarik ngobrol dengan dia. Sesepuhku tadi sangat menyayangkan masalah investasi asing, dia takut kalau-kalau nanti semua yang ada du Nusantara ini dikuasai asing sepenuhnya, dan sekarang perlahan sedikit demi sedikit tetapi pasti, negeri ini digerogoti oleh bangsa asing. Sesepuhku sangat mewaspadai China dan juga Korea, kata dia bahwa suatu saat nanti bisa saja, dan bahkan hampir pasti kekayaan alam bangsa ini akan dikuasai oleh China, sementara manusia-manusianya akan diperbudak oleh pribadi Korea. Aku bisa merasakan ketakutan yang amat sangat pada sesepuhku waktu cerita semalam, dia bahkan menakutkan bahwa pada suatu saat juga nanti bisa saja bahasa Jawa udah hilang sirna, dia menyuruhku melihat seperti apa ajaran di sekolah saat ini. Begitu menuju kelengseran kebudayaan yang berkepribadian. Namun, toh sejarah kemunafikan tak harus selalu digambarkan dengan warna kelabu.

     Juga perlu diketahui bahwa setiap pagi, lembaran sejarah senantiasa mencatati seberapa banyak pribadi manusia yang berusaha membebaskan diri dari dorongan luar yang menyebabkannya terpaksa melakukan kemunafikan. Saat ini para generasi penerus tengah menuju pada hilangnya kepribadian, aku selalu merasa para manusia yang gak pernah bercengkrama dengan alam lah yang jadi penyebab utama. Sementara mereka selalu sok peduli dengan isu alam, mereka tau apa coba, sementara kedua bola mata mereka udah teracuni oleh media yang taunya memberitakan hal yang menurut mereka layak untuk dipublikasikan. Tetapi perlu diingat juga bahwa kemunafikan memiliki stadium tersendiri. Tidak perlu khawatir karena kadang kala sebuah kemunafikan belum bisa dikatakan kemunafkan jika belum memenuhi syarat dan kebutuhan, kebanyakan hanyalah merupakan kerancuan. Seperti contohnya adalah aku sendiri, selalu menahan segalanya demi tegaknya kesabaran dan ketenangan pribadi, ada yang bilang jika saat ini diperbolehkan menjadi seperti sosok Ronggolawe, maka perang Brotoyudho gak bisa dielakkan lagi.

     Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam sejarah tak selalu bisa kita ketahui dari sekolah, buku-buku, ataupun majalah koran, apalagi media canggih saat ini. Aku sering banget menemukan sejarah bangsa ini yang tercatat sangat buruk di Wikipedia, padahal bukti jelasnya belumlah tersepakati, sementara apa yang banyak dituturkan oleh para tetua yang sangat jelas merekam lewat mata dan pikiran mereka sendiri diabaikan dengan alasan yang sangat merusak norma kesantunan. Itu semua hanyalah sebuah pertanda permukaan dari apa yang harus kita olah sendiri. Oleh karena pengetahuan kesejarahan akan bisa didekati dengan kreativitas pribadi yang mencoba mengantisipasi pengelabuan mulut-mulut sejarah. Tanpa kreativitas yang mumpuni itu, genarasi berikutnya kita ini hanya akan menjadi sebuah kartu-kartu permainan. Dan apa yang bisa dilakukan oleh generasi tua jikalau kartu sudah dikuasai oleh musuh? Sedemikian rupa persoalan ini harus diteliti, lebih dari intensitas cara penelitian yang diwejangkan oleh lembaga ilmu. Sedangkan perlu dikatahui bahwa sejarah pengendali kita tak sekedar berada nun jauh di sana ataupun di pusat-pusat kekuasaan, melainkan sudah pula bersinggasana di pusat saraf otak kita, melakat pada kreativitas pemikiran kita, hati dan bahkan kejiwaan kita. Walau begitu terkesan mengerikan, namun kemunafikan semacam itu adalah yang paling aku tunggu, karena hanya dengan seperti itulah kita yang memiliki kepribadian terpaksa menyumbangkannya. Kita juga akan dengan penuh keteguhan berbaris rapi mendaftarkan diri guna menyumbangkan tenaga dan hidup kita kepada ibunda bangsa.

     Sebenarnya kalau membahas tema Nusantara, aku ini begitu sedih umpomo ada yang menceritakan kemerosotannya, walau kenyataannya mereka menceritakan hal yang sebenarnya, namun sebagai keturunan pengarang Negarakretagama maka diriku harus lurus menuju apa yang sudah digariskan. Sungguh aku sangat lebih senang menyediakan sanjung puji-pujian, tepuk tangan, dan pura-pura seperti layaknya semua manusia, lebih suka disanjung dan dimanja. Tapi, sampai kapan kita tak berani berkaca? Sampai kapan kita bermanja-manja dengan sejarah yang semena-mena? Kapan generasi kita ini berangkat sungguh-sungguh dewasa? Dan yang paling aku tunggu mestilah masa di mana kita semua menemukan watak kita yang sempurna. Marilah sedikit namun pasti kita tempuh jalan yang memang sebenarnya sangat tak nyaman ini. Sudah beribu-ribuan orang menyumbangkan pikiran, menyumbangkan ide dan pengalaman, menyumbangkan tenaga dan gak sedikit juga yang rela menyumbangkan kehidupannya. Tapi, aku sangat yakin barangkali belum banyak orang yang menyumbangkan kepribadian.

Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar