Langsung ke konten utama

Arti Kemenangan

     Arti pertandingan bukanlah seperti yang aku pikirkan, apakah aku hidup untuk bertanding? Ataukah hidup ini membuatku harus terpaksa bertanding? Pusing kalau terus coba dipikirin. Walau begitu layak untuk dipikir, oleh karena manusia adalah makhluk pemuja persaingan dan pemikir buruk tentang arti persaingan?. Bahkan ada banyak yang bertarung demi memikirkan sesuatu yang aslinya nggak perlu dipikirkan. Coba tebak, harimau ini tengah nguap karena ngantuk atau dia tengah mengaum teriak marah?


     Tau kan sekarang bahwa ternyata manusia kalau dibiarkan, senantiasa berbuat yang memalukan dan saling memakan satu sama lain. Kanibal secara akal. Apa aku juga termasuk begitu? Lagian apa aku ini manusia? Pertanyaan yang konyol demi mendapatkan perhatian sang makhluk yang tengah aku jebak.

     Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan — itu hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan disematkan kepada sang juara. Pernahkah melihat yang beginian? Makanya sering nonton Olimpiade, terutama cabang Atletik, banyak nomor yang dipertandingkan itu cabang. Tapi aku lebih suka cabang Senam. Ada nilai seni dan rasa yang nggak memaksa. Alhasil aku jatuh cinta. Berbahagialah saat upacara kemenangan disematkan pada kita, karena belum tentu besok-besok kita bisa begini lagi. Dan tentu teruslah ingat bahwa kalah menang itu hanya masalah kepantasan. Bagaimana supaya pantas? Entah ya, aku kalah terus sih. Saat aku kalah, itu karena aku selalu mengira bahwa aku yang paling unggul, dan bertanding dengan tanpa tau apa-apa tentang lawannya. Cari tau tentang lawanmu, lalu persiapkan dirimu, mungkin itu caranya untuk bisa menang.
    Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan melawan tim lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai juara. Kalau sesudah penobatan gelar juara, diselenggarakan lagi pertandingan antara kedua tim itu, maka tidak seorang pun bisa memastikan bahwa sang juara tadi akan pasti menang lagi. Ini nggak berlaku untuk tim basket USA kala melawan tim basket Indonesia. Diulang berapa kalipun, hasilnya ya begitu. Kecuali USA ngalah demi apa gitu misal. Jadi, pertandingan final ini sangat menarik. Apa yang menarik? Nggak ada sebenernya, cuma imajinasi nggak sportif kita saja yang membuatnya menarik. Kan kadang kita itu suka berandai, ah kalau umpama kalau tadi itu begini, maka nggak akan begini hasilnya. Begitu yang paling menarik. Padahal bagi yang bertanding, kalah menang adalah hasil paling adil. Saat ini mungkin menang, belum tentu besok kalah. Saat ini kalah, belum tentu besok nggak menang. Intinya kalau kalah ya kalah. Menang itu juga bentuk kekalahan yang terhormat. Licik aku nulisnya ini, tapi memang begitu kayaknya. Tidak ada pemenang yang sesungguhnya, cuma ada mereka yang dianggap menang. Tapi aslinya ya menang. Mungkin. The day that never come, kata Metallica. Nah itu.

     Aku beri gambar hasil jepretanku sendiri, ini entah belalang dari keluarganya siapa. Dia sendirian di situ, nggak tau aku dia punya atau nggak bapak ibu. Karena dia lahir dari telur yang dibiarkan setelah dikeluarkan ibunya. Ayah pun dia tak tau. Dia lahir dan langsung turun gelanggang. Adakah dari kita yang bertanya padanya tentang arti kalah menang? Dia hanya perlu bertahan demi hari cerah di masa depan. Karena kata tuh belalang begini : 'makasih telah mengabadikan gambarku kawan, aku memang kecil, tapi rasa hormatku tinggi.' Begitu, sampai aku dipanggil kawan sama dia, bukankah aku merasa seolah dimenangkan? Itulah pemenang sejati, selalu membuat yang lainnya merasa nggak kalah. Percaya nggak sama ceritaku ini? Percayalah. Karena untuk menang, modal pertama kita adalah percaya. Nah itu saja.

     Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya untuk memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali, sehingga petinju Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali. Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat dan kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habis-habisan selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji — “Saya sudah timpakan kepada Ali ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan dinding, tetapi Ali tetap tegak….” — sehingga secara fisik maupun mental Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde ke-15. Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga sudah babak belur, bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi Ali punya kenakalan intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, tolong pinjamkan kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau jatahkan kepadaku untuk besok pagi, supaya aku bisa tampil di ronde terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari….”
     Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri untuk berdiri dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi — sementara Frazier terduduk lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang, tapi sesuai dengan janjinya pinjam tenaga kepada Tuhan — maka sesudah duel itu Ali terbaring di rumah sakit, sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan berjoget di diskotek. Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan Ali itu mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala dunia 1998 lalu, sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara lantas mereka dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa Perancis akan menang menghadapi Brasil. Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada. Yang ada hanyalah mereka yang tengah berfoto ria demi kemenangan bersama yang terkenang. Semoga mereka nggak bertarung satu sama lain.
    Coba Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan sepakbola kampung. Terus kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah kemungkinan konyolmu….
     Begitulah caraku memandang sebuah arti kemenangan. Semacam sebuah rasa dan pengorbanan. Aslinya kita itu menang oleh karena lawan kita yang mengalah, atau tepatnya belum pas waktu untuk menangnya. Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Apa begitu ya kiranya. Seperti kita kalah sama penjajah ratusan tahun itu lho, kan kayaknya memang dalam banyaknya perang perjuangan yang sudah dicoba, kita belum layak menang, masih ditunda hingga 1945. Andai saat perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro kita saat itu menang, pasti cerita dan posisi Indonesia saat ini nggak seperti ini. Dan belum tentu juga nama negaranya Indonesia. Ngawur aku ini ya, kan intinya adalah bahwa kemenangan adalah bentuk imajinasi dari sebuah kekalahan. Pun sebaliknya juga berlaku. Begitu ya mungkin. Nggak...

Ya sudah.
Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar