Dalam kitab Syarh Washiyyati asy-Syaikh al-Kamil Ibrahim al-Mabtuli, seorang ulama berkata, "Kesempurnaan maqom tawadhu' tidak bisa dicapai melainkan dengan kesaksian seorang hamba bahwa derajatnya lebih rendah dari setiap muslim. Dan tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih banyak maksiatnya serta lebih sedikit adab maupun rasa malunya daripada dirinya sendiri. Kesaksian ini harus didasarkan pada keyakinan, bukan dugaan. Karena, barang siapa menganggap dirinya lebih baik dari orang lain yang durhaka, namun ia sendiri tidak menunjukkan rasa syukur kepada Allah (dengan ketaatan dan kebajikan), sesungguhnya ia pun termasuk dalam kategori orang-orang yang sombong."
Orang-orang arif sepakat bahwa siapa saja yang memiliki sifat sombong, walaupun sedikit, ia tidak termasuk golongan hamba-hamba yang dicintai Allah, meskipun secara kasat mata ia beribadah kepada-Nya dengan ibadahnya jin dan manusia. Ketahuilah, seseorang tidak akan menganggap dirinya besar, kecuali karena ia telah menganggap dirinya memiliki salah satu sifat kesempurnaan dalam urusan agaman maupun dunia. Dalam hal ini, setidaknya ada tujuh hal yang menyebabkan kesombongan:
Pertama adalah Ilmu. Rasulullah saw. bersabda, "Perusak ilmu adalah kesombongan." Ilmu hakiki adalah ilmu yang dengannya manusia bisa mengenali dirinya dan Tuhannya, mengetahui bahaya su'ul khatimah, hujjah Allah atas para ulama, dan besarnya bahaya ilmu (yang tidak diamalkan dan malah disalahgunakan).
Kedua, Amal dan ibadah. Kesombongan yang bersemayam di dalam hati seseorang. Ia menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, hanya saja ia berijtihad dan bersikap tawadhu' serta mengerjakan kebajikan sebagaimana dikerjakan orang lain. Sehingga, ia menganggap dirinya lebih baik dari mereka. Sikap ini memperkokoh pohon kesombongannya, meskipun ia telah memotong seluruh rantingnya. Ada juga yang menampakkan kesombongannya pada setiap perbuatan-perbuatannya, dengan membanggakan derajatnya di majelis yang ia hadiri, menonjolkan diri, dan menunjukkan pengingkaran terhadap siapa saja yang kurang memenuhi haknya. Hal ini setidaknya terjadi pada orang alim yang memalingkan mukanya dari orang lain, seakan-akan ia menjauhi mereka, menganggap mereka kotor, atau merah terhadap mereka. Kesombongan juga bisa terjadi pada lisan seseorang, dengan membanggakan serta memuji diri sendiri. Seperti contohnya ucapan, "Siapa dia? Apa amalnya? Bagaimana zuhudnya?" Atau bisa juga semacam ucapan, "Aku tidak makan pada hari ini dan hari ini, atau aku tidak tidur pada malam hari." Sedangkan juga biasanya ada ucapan, "Aku menguasai berbagai macam ilmu dan mengetahui segala hakikat yang tersembunyi. Aku pernah belajar kepada si Fulan dan si Fulan, apa kelebihanmu? Siapa gurumu? Dan ilmu apa yang pernah kau dengar?"
Penyebab kesombongan ketiga adalah Nasab atau keturunan. Seseorang yang bernasab mulia akan memiliki kesempatan lebih besar untuk meremehkan mereka yang bernasab biasa, meskipun mereka memiliki ilmu dan amal yang lebih tinggi.
Keempat yaitu Rupa. Tidak sedikit yang terkena ujian rupa, seseorang yang terlahir rupawan akan cenderung bersikap sombong, mereka tidak segan menunjukkan sisi rupawannya di hadapan khalayak dan bahkan kadang membandingkan dan menjelek-jelekkan orang lain yang dirasa tak serupawan dirinya.
Kelima tentu saja Harta. Ini terjadi pada seseorang yang selalu membanggakan kekayaan mereka, para tuan tanah dengan tanah yang dikuasainya, para pedagang dengan barang dagangan mereka, dan orang-orang kaya lainnya dengan gaya pakaian, rumah, dan kendaraan mereka.
Keenam adalah kekuasaan. Dengan menyombongkan kekuasaannya terhadap orang-orang tertindas dan lemah tak punya kuasa.
Dan terakhir adalah Pengikut ataupun kerabat. Biasanya terjadi diantara mereka yang membanggakan jumlah pendukungnya, maupun bisa juga terjadi pada para ulama yang membanggakan jumlah murid yang berguru padanya.
Setiap kenikmatan bisa dianggap sempurna meskipun sebenarnya tidaklah sempurna, dan itu pun ada juga yang membanggakan. Bahkan orang fasik pun terkadang ada juga yang membanggakan banyaknya kemaksiatan yang pernal dilakukannya. Karena, ia menganggap hal itu adalah kesempurnaan, meskipun sebenarnya hal tersebut adalah perbuatan dosa.
Komentar