Diriku pengen belajar kembali sejarahku sendiri, dan yang paling utama sebelum mempelajarinya adalah jangan sampai memasukkan sejarah luar ke sini, kita ini ternyata beda alam dan mitologi. Sejarah paling seru adalah tentang Singasari dan Majapahit. Tetapi lebih milih bahas Majapahit kali ini. Yaitu tentang Brawijaya VI, atau Dyah Suraprabawa. Menurut ceritanya, Dyah Suraprabawa memiliki gelar Abhiseka Sri Singhawikramawarddhana. Sebelum menjadi Raja Majapahit, beliau berkedudukan sebagai Raja di daerah Tumapel (bhattararing Tumapel). Dalam Kitab Pararaton, disebutkan bahwa Dyah Suraprabawa memerintah selama 2 tahun saja, yang mana setelah itu beliau menyingkir meninggalkan keratonnya. Sebagai Raja, beliau tak lupa juga mengeluarkan sebuah Prasasti, yaitu Prasasti Pamintihan. Prasasti Pamintihan ini dikeluarkan pada tahun 1473 Masehi, dan pada waktu itu beliau masih memerintah Majapahit. Bahkan dalam prasasti, beliau disebutkan sebagai pemimpin raja-raja keturunan Tuan Gunung (Sri Giripatiprasutaphupatiketubhuta), di samping disebut juga sebagai "Penguasa Tunggal di Tanah Jawa" (Yawabhumyekadhipa).
Di dalam Manggala Kakawin Sriwaratrikalpa gubahan Mpu Tanakung, beliau disebutkan pula sebagai raja yang memang telah sepantasnya menjadi keturunan Wangsa Girindra (Tan Iyan Sry Adisuraprabhawa Sira Bhupati Sapala Girindrawangsa). Dengan pernyataan yang detail seperti disebutkan, maka pemberitaan dalam Kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa Bhre Pandan Salas hanya memerintah Majapahit selama 2 tahun tidak benar. Namun untuk masalah mengenai penyingkiran Bhre Pandan Salas dari keratonnya dapat dibenarkan. Penyingkiran Bhre Pandan Salas dari keratonnya tersebut disebabkan karena serangan dari Bhre Kertabhumi, yang menginginkan kekuasaan Majapahit. Sementara itu, dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1486 Masehi, diketahui adanya penyelenggaraan upacara Sraddha untuk memperingati 12 tahun mangkatnya Paduka Bhattararing Dahanapura. Nah, oleh para sejarawan, tokoh Bhattararing Dahanapura ini diidentifikasikan dengan Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabawa Sri Sighawikramawarddhana. Pernyataan para sejarawan ini didasarkan pada keterangan dalam Prasasti Girindrawarddhana. Dalam Prasasti Girindrawarddhana juga disebutkan bahwa ketika keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kertabhumi, Bhre Pandan Salas menyingkir ke daerah Daha. Di Daha inilah beliau kemudian meneruskan pemerintahannya sampai meninggal pada tahun 1474 Masehi, setahun setelah beliau mengeluarkan Prasasti Pamintihan.
Berdasarkan prasasti-prasasti dari Raja-Raja Majapahit periode akhir, yang sering disebut sebagai keluarga (Dinasti) Girindrawarddhana, belliau Dyah Suraprabawa termasuk ke dalam keluarga Girindrawarddhana. Hal ini menjadi bukti pasti bahwa Dyah Suraprabawa masih keturunan dari Dinasti Rajasa, yang tidak lain masih keturunan dari Ken Angrok.
Sementara itu, Dyah Suraprabawa disebutkan memiliki sifat yang utama sebagai seorang Raja Majapahit, yaitu :
- Memiliki kebajikan yang tinggi, yang sesuai benar dengan keindahan tubuhnya. Berwajah tampan dan mempesona, seperti kaca yang mengeluarkan warna beraneka macam.
- Selalu kemanapun menampilkan watak/kelakuan yang begitu lemah lembut.
- Beliau juga disebutkan sebagai bentuk penjelmaan masa yang lebih dulu, atau biasa disebut sebagai bentuk lain dalam dimensi yang lebih tua/reinkarnasi.
- Beliau menguasai berbagai kitab sastra Weda dan peraturan agama, yang mana hal tesebut membuat beliau menjadi ahli Kitab agama Hindu.
- Tak lupa, beliau juga memiliki tenaga matahari atau kekuatan mentari. Yang bisa juga diartikan bahwa beliau adalah sosok Raja yang memiliki aura dalam setiap gerak tubuhnya.
Seperti itulah jalan ceritanya, begitu sangat ideal, namanya juga Raja, kemungkinannya cuma dua, yaitu kalau nggak dipuja ya dicela. Nggak mungkin bagi seorang Raja ceritanya biasa-biasa saja. Yang biasa-biasa saja ya kita ini sebagai rakyat jelata. Yang begitu membuatku penasaran akan sejarah leluhurku cuma satu, yaitu apakah benar bahwa para petinggi Kerajaan selalu punya ilmu kedewataan? Bisa terbang, ngilang, dibacok ora mempan, pokoknya sakti mandraguna lah. Dan bagaimanakah nasib kehidupan rakyat jelata zaman dahulu kala? kenapa bisa ada yang sampai kelaparan padahal saat itu hutan masih dipenuhi oleh binatang dan berbagai macam buah tumbuhan. Aku kira, zaman kelaparan cuma ada waktu era penjajahan, yaitu bagi mereka yang dipaksa kerja oleh penjajah tanpa pertimbangan makanan. Karena diriku sangat yakin bahwa masa itu terutama masa Majapahit pasti alam masih punya banyak stok makanan, atau mungkin saja waktu itu rakyat nggak ada yang berani masuk hutan, karena berbagai ancaman, akhirnya waktu itu rakyat hanya mampu menanam tanaman pangan dengan berebut sama banyaknya hewan, ketika hewan menyerang ladang mereka, akhirnya ya gagal panen rakyat saat itu, dan berakibat pada bencana kelaparan. Belum lagi ditarik hasil bumi mereka oleh para penguasa. Habis sudah, kadang anak gadisnya ditarik pula, nasib.
Komentar