Langsung ke konten utama

Bagaimana Manusia Menjunjung Harkat?

     Terkadang, kalau jiwa ini lagi capek, ingin rasanya otak dan hati ini dipijit. Karena fungsi utama pijitan adalah membuang segala yang hitam di dalam jiwa raga. Mengapa sesuatu yang buruk digambarkan dengan warna hitam? Sejak kapan dan siapa sih yang menilai bahwa hitam adalah keburukan? Lalu putih itu katanya suci, merah berani, hijau ramah, aneh aneh saja memang manusia. Terkadang ada muncul ide yang ngawur: yang enak itu sepertinya menjadi seekor ayam saja. Tak akan kekurangan makan, bisa tidur sambil nangkring, nanti pas disembelih paling juga berkeok sedikit, tanpa pernah sadar bahwa sedang disembelih. Pun tak perlu ada inisiatif untuk protes apalagi menghakimi.

     Sementara jadi manusia, harus berjuang dengan akalnya yang katanya paling sempurna diantara para makhluk. Baik untuk menyempurnakan eksistensinya sebagai binatang berakal, maupun guna menciptakan teori akal-akalan serta teknik mengakali. Padahal, manusia itu lahir telanjang dan utuh. namun beberapa saat kemudian sudah dibungkus kain. Dari hari ke hari berganti datang pula berlapis-lapis bungkus bagi otaknya, hatinya, mentalitasnya, dan juga jiwanya. Bungkusan itu dimaksudkan agar ia tumbuh menjadi sesosok makhluk yang sadar mawas diri. Terkadang, karena bungkusannya berlapis-lapis dan bermacam-macam pula warna dan bentuknya, manusia bisa berkembang menjadi lapisan maupun bungkusan itu sendiri. Sedemikian rupa sehingga terkadang manusianya sendiri tersembunyikan. Manusia, bagaimanapun memanglah cenderung mengikuti manusia lainnya, jarang ada yang mampu berdiri sendiri dengan potensi yang dianugerahkan padanya. Kalaupun bisa, ia juga terkadang cenderung memaksakan apa yang ia miliki pada lainnya. Itulah sebuah keberhasilan katanya.

     Seiring pertumbuhan manusia, ada berbagai macam pemikiran-pemikiran, nilai-norma, agama, dogma, serta berbagai ideologi, yang susunan keberadaannya dalam diri manusia itu sendiri terpencar-pencar, yang mana hal ini akan sukar mempersatukan hasrat nurani denga isi kepala, lebih dari itu manusia juga dibungkus terlapisi oleh status sosial, jabatan, posisi kelas, atau beratus ribu baju lainnya, yang necis maupun yang kedodoran. Semua itu tergabung di dalam suatu sistem dan aturan pengorganisasian kebersamaan antarmanusia. Manusia harus memakai baju, harus pula menjadi suatu fungsi dari statusnya. Manusia harus berguna, harus berfungsi agar ia punya makna sebagai manusia. Terlebih, manusia sekaligus harus menjalankan suatu fungsi, yang mana hal inilah yang justru akan mengurangi kualitas kemanusiaannya.

     Status manusia kita sebagai manusia, bisa tertindih tersembunyi di balik statusnya sebagai baju-baju, sebagai ini itu dalam pergaulan kehidupan dan penghidupan bermasyarakat. Hingga tanpa terasa, status manusia menjadi sekunder. Yang primer tinggal ialah yang disebut pedagang, seniman, cendekiawan, polisi, lurah, kopral, gelandangan, menteri, buruh, direktur, hostes, kernet, peramal, nasib dan beribu-ribu lainnya. Di antara status-status tersebut, ada yang coba memupuk subur nilai manusianya, ada juga yang memprotes dehumanisasi. Sebab, setiap fungsi status begitu terkait erat dengan keharusan bersama yang sudah disepakati, yaitu untuk membaik, ataupun untuk memburuk.

     Apa yang susungguhnya ingin aku katakan adalah, yaitu suatu tema bagaimana manusia menyikapi status keduanya sesudah statusnya sebagai manusia. Bagaimana ia mempertahankan harkat kemanusiaannya di tengah keharusan-keharusan sejarah lingkungannya.

Aku kurang yakin bahwa namaku ini Ridwan, tapi aku dipanggil dengan nama itu. Aku pria, tapi aku memiliki cita rasa wanita. Aku kurang normal, tapi aku yakin tidak gila. Aku hidup, tapi aku tak bernafas dengan hasratku. Gimana ini...?

Komentar